Deretan Intoleransi yang Berulang, Jangan Beri Panggung Intoleran

Senin, 27 Maret 2017 | 17:29 WIB
Deretan Intoleransi yang Berulang, Jangan Beri Panggung Intoleran
Ilustrasi toleransi beragama. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aksi intoleransi masih terjadi di sebagian kawasan Indonesia. Yang terbaru aksi penolakan Gereja Santa Clara di Bekasi, Jumat (24/3/2017) yang berlangsung ricuh.

Ketua Yayasan Satu Keadilan (YSK) Sugeng Teguh Santoso meniali intoransi di Indonesia berulang karena adanya pemberian ruang untuk aksi intoleran terjadi. Padahal, keutuhan negara menjadi pertaruhan

“Agar kekerasan atas nama SARA yang merusak persatuan kita sebagai sebuah negara-bangsa yang dibangun diatas fondasi keberagaman, tidak terus berulang, penegak hukum harus serius menindak para pelaku intoleran. Negara tidak boleh tunduk pada kehendak-kehendak kelompok intoleran,” kata Sugeng dalam pernyataan persnya, Senin (27/3/2017).

Menurut dia, penolakan Gereja Santa Clara di Bekasi menambah daftar kasus intoleransi di Jawa Barat dari tahun ke tahun. Di Parungpanjang, Kabupaten Bogor, 3 gereja sejak 7 Maret 2017 hingga kini dinyatakan Status Quo oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dengan alasan untuk menjaga kondusifitas setelah adanya desakan dari kelompok intoleran.

Baca Juga: Nonton "Bid'ah Cinta", Djarot: Cinta Bisa Kalahkan Intoleransi

Pada 23 Maret 2017 Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Depok, disegel. YSK sebagai organisasi yang terlibat dalam advokasi/ pembelaan hak atas Atas Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (KBB) tersebut, mengecam dan menuntut negara aktif memberikan perlindungan dan jaminan kepastian melaksanakan hak.

“Pelanggaran Hak Atas KBB yang dijamin oleh UUD Tahun 1945 dan oleh aturan-aturan hukum internasional sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sejatinya tidak didasarkan pada alasan legal atau illegalnya pendirian rumah ibadah. Hal ini terbukti dimana beberapa rumah ibadah yang telah memenuhi syarat administratif, masih mengalami penolakan,” kata dia.

Menurut dia, konflik atas nama agama berulang disebabkan negara masih tunduk pada kehendak-kehendak kelompok intoleran. Ini terjadi di pemerinta pusat samai daerah.

“Tindakan demikian memecah belah persatuan sebagai sebuah bangsa yang saling menghargai dan menghormati perbedaan, melanggar hukum dan hak asasi manusia. Kepala-kepala daerah, yang berdiri tegak menjamin pelaksanaan hak asasi warga negara untuk beribadah sebagai tanggungjawab konstitusional, tentu patut diapresiasi,” kata dia.

Baca Juga: Intoleransi di Jakarta Tinggi, Djarot: Kok Panwaslu Diem Aja

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI