Suara.com - Masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Perokok Bijak memohon perlindungan kepada Negara karena selama ini dari hampir semua segi, konsumen tembakau selalu dikucilkan dan dianggap biang masalah. Padahal, sebagai konsumen, Komunitas Perokok Bijak juga berkonstribusi riil kepada Negara.
Ketua Umum Komunitas Perokok Bijak Suryokoco menyampaikan tindakan diskriminatif melalui kebijakan, fasilitas sebagai warga negara, juga dalam berbagai kesempatan selalu menghinggapi para konsumen. Kampanye besar-besaran terhadap anti rokok, kata dia, telah membuat para konsumen dan produsen terpukul berat.
“Kami para perokok yang merupakan konsumen produk rokok, sampai saat ini belum merasakan kehadiran negara untuk melindungi kami. Kami bermohon, berilah kami perlindungan sebagai konsumen yang memberi kontribusi pada penerimaan negara yang tidak kecil,” tutur Suryokoco di Jakarta, Jumat (24/03/2017).
Suryokoco menjelaskan sebagai konsumen, telah memberi kontribusi penerimaan negara dalam bentuk cukai yang bernilai Rp139.5 triliun. Nilai itu setara dengan 17,4 kali lipat dari tambang PT. Freeport atau setara dengan 11,72 persen dari penerimaan negara di tahun 2016.
“Kami sempat bangga saat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan penerimaan negara dari Freeport jauh lebih rendah dibanding cukai rokok. Ini disampaikan Jonan saat memberi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pada Selasa 21 Februari 2017 lalu,” kata Suryokoco.
Dia melanjutkan seperti yang disampaikan Presiden Jokowi rapat terbatas tentang perlindungan konsumen di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (21/3/2017), maka perlindungan kepada para konsumen rokok juga sangat diperlukan.
“Bapak Presiden sampaikan ‘Yang perlu kita perhatikan dan harus kita perhatikan adalah perlindungan konsumen ini sangat terkait dengan kehadiran negara untuk melindungi konsumen secara efektif’. Yang kami pahami juga adalah Bapak Presiden ingin ada efektivitas kehadiran negara untuk melindungi konsumen termasuk menegakkan hukum dan pengawasan,” tutur Suryokoco.
Suryokoco menyinggung pernyataan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence yang mengatakan kalau ia tidak percaya merokok dapat membunuh seseorang.
Dikatakan Suryokoco, Mike Pence menyatakan keraguannya tersebut dalam sebuah artikel opini yang diterbitkan pada tahun 2000, dan dalam kesempatan setelah terpilih menjadi Wakil Presiden Pence mengatakan.
“Waktu untuk cek kenyataanya cepat, meskipun histeria dari kelas politik dan media, merokok tidak dapat membunuh. Faktanya, 2 dari setiap tiga perokok tidak mati dari penyakit merokok dan 9 dari sepuluh perokok tidak mengidap kanker paru-paru,” kata dia.
“Jadi kami perokok yang jelas adalah konsumen produk rokok, pastilah Bapak Presiden Jokowi akan lindungi,” ujarnya.
Suryokoco mengungkapkan dalam pernyataannya, Presiden Jokowi juga menjelaskan tentang konstribusi sektor konsumsi terhadap domestik bruto (PDB) mencapai 55,94 persen. Yang artinya perekonomian nasional mayoritas masih digerakkan oleh konsumsi. Negara kita memiliki penduduk yang sangat besar, ini berarti potensi pasar yang besar pula.
“Dan oleh karenannya Bapak Presiden menyingung pentingnya edukasi dan perlindungan konsumen,” ujarnya.
Sementara itu, Sekjen Komunitas Perokok Bijak Ario Sanjaya memaparkan amanat UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Setidaknya, kata Ario, ada beberapa hal mendasar yang menjadi penekanan di UU itu, yakni pertama, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (pasal 1 ayat 1).
“Kemudian, konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Itu tertuang di pasal 1 ayat 2,” ujar Ario.
Ketiga, perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum (pasal 2).
Keempat, hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa (pasal 4 ayat a).
Ario juga mengingatkan, telah ada Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau untuk Kesehatan.
“Kami sangat hormati aturan itu-aturan itu,” ujar Ario.
Tetapi yang terjadi, lanjut dia, Kementerian Kesehatan selalu memberikan arahan dan bimbingan ke perangkat birokrasi di daerah untuk membuat peraturan daerah Kawasan Tanpa Rokok yang berlebihan, melebihi yang sudah diatur dalam PP 109 tersebut.
“Komunitas Perokok Bijak sangat percaya dengan kearifan dan kebijaksanaan Bapak Presiden dalam melindungi warga negara Indonesia secara keseluruhan termasuk didalamnya kami konsumen produk tembakau,” ujar Ario.
Dia juga yakin bahwa Presiden Jokowi beserta jajaran Kabinet akan menegakkan aturan yang telah ada. Oleh karenanya, lanjut dia, Komunitas Perokok Bijak memohon juga agar Presiden berkenan memerintahkan Kemenenterian Dalam Negeri untuk mencabut Peraturan daerah yang melebihi aturan PP 109 dalam hal penetapan Peratura Daerah Kawasan Tanpa Rokok.
“Kami yakin Bapak Presiden beserta jajaran Kabinet akan menegakkan aturan yang telah ada dan oleh karenanya mohon berkenan memerintahkan Kementeriandan HAM melakukan penertiban organisasi pelindungan konsumen yang tidak melakukan tugasnya sesuai dengan amanat UU no 8 tahun 1999,” kata dia.