Suara.com - Kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun tidak pernah sepi dari pemberitaan, selain karena dana yang diselewengkan cukup besar, kasus ini pun diduga menyeret banyak nama anggota dewan legislatif.
Memang sungguh sayang, jika dana korupsi sebesar Rp2,3 triliun tersebut digunakan untuk kemaslahatan orang banyak khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah tentu sangat berarti bagi mereka. Contohnya seperti membangun rumah murah.
Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Eddy Ganefo untuk membangun satu unit rumah subsidi pengembang harus mengeluarkan dana sebesar 90 persen dari total penjualan, artinya jika rumah subsidi dijual seharga Rp135 juta maka pengembang harus mengeluarkan dana sekitar Rp120 juta untuk membangun satu unit rumah subsidi.
Dan jika dana korupsi e-KTP sebesar Rp 2,3 triliun tersebut dialokasikan untuk membangun rumah murah, maka pemerintah dapat membangun sekitar 19 ribu rumah murah.
Sementara menurut Managing Director Lamudi Indonesia Mart Polman kekurangan angka rumah di Indonesia saat ini harus segera ditangani dengan serius, karena kebutuhannya terus meningkat, sementara pasokannya belum optimal.
“Angka kebutuhan akan rumah setiap tahunnya terus meningkat sementara harga rumah terus naik, oleh karena itu pemerintah harus bisa menyediakan perumahan yang murah namun layak huni,” ujar Polman.
Saat ini angka kekurangan rumah di Indonesia yang dirilis Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat mencapai 11,4 juta turun dari data acuan RPJM 2015-2019 sebesar 13,5 juta.