Suara.com - Selain meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mencabut berkas acara pemeriksaan di tengah persidangan, mantan anggota Komisi II dari Fraksi Hanura DPR Miryam S. Haryani juga menangis di persidangan, Kamis (23/3/2017). Miryam merupakan saksi untuk dua terdakwa mantan pejabat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, dalam kasus dugaan suap proyek pembuatan e-KTP.
"Tolong saudara berhenti menangis dulu, biar keterangannya jelas," kata hakim anggota I Frangki Tambuwun di gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (23/3/2017).
Awalnya, proses persidangan berlangsung lancar. Ketua majelis hakim John Halasan Butarbutar menanyakan kepada Miryam mengenai biodata pribadi dan tugasnya ketika masih menjadi anggota Komisi II yang merangkap anggota badan anggaran.
John kemudian menelisik awal mula proyek e-KTP muncul hingga diproses di Komisi II.
Miryam yang juga ketua umum organisasi Srikandi Hanura kemudian keberatan ketika hakim menanyakan hubungannya dengan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong yang merupakan pemegang proyek. Dalam dakwaan jaksa yang dibacakan di sidang perdana, pekan lalu, Andi disebut sebagai orang yang memberikan uang kepada sejumlah anggota dewan.
Miryam juga ditanyakan apakah pernah menerima uang imbalan menggolkan proyek e-KTP.
Lebih jauh, Frangki menanyakan tentang proses pemeriksaan di KPK.
"Apakah saudara diancam waktu pemeriksaan," kata Frangki.
"Betul sekali pak, saya diancam sama penyidik. Itu yang terjadi pak. Saya diancam. Diancam sama penyidik tiga orang," kata Miryam sambil menangis terisak-isak.
Isakan tangis Miryam yang sekarang menjadi anggota Komisi V semakin lama semakin keras. Terutama ketika dia mengungkapkan penyidik yang menurutnya menekan.
"Jadi waktu saya dipanggil ada tiga orang penyidik. Seingat saya yang satu namanya Novel (Baswedan), yang satu lupa, yang satunya lagi seingat saya Damanik. Waktu saya baru duduk, dia langsung ngomong begini, ibu tahun 2010 mestinya sudah saya tangkap. Terus saya ditekan-tekan lagi," kata Miryam.
Karena menangis, suaranya menjadi tidak jelas. Hakim Frangki pun menyuruhnya untuk berhenti menangis.
Setelah itu, hakim menanyakan alasan penyidik melakukan hal tersebut.
"Saya tidak tahu pak. Saya ditekan terus, saya tertekan sekali waktu disidik," kata Miryam.
Karena sering menjawab tidak pernah dan tidak tahu, hakim pun meminta Miryam jujur karena sudah disumpah.
Tapi, tetap saja jawabannya sebagian besar tidak memuaskan hakim.
"Kalau gitu saudara pintar ngarang. Mungkin dulu waktu sekolah disuruh ngarang nilainya 10. Jujur aja ini disaksikan banyak masyarakat seluruh Indonesia. Berikan keterangan yang benar ya," kata hakim.
Hakim berkata demikian karena BAP-nya sangat baik, berbeda sekali dengan ketika dihadirkan di muka sidang.