Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan ada hal yang perlu diluruskan dari pemberitaan soal mobil negara yang ada di tangan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berita yang beredar ini, kata Hinca, memiliki pesan negatif dan menciptakan distorsi publik.
"Perlu saya luruskan terkait pemberitaan mengenai mobil negara yang kini ada di tangan SBY. Dalam hemat kami, pemberitaan tersebut memiliki pesan negatif yang pada akhirnya menjadi bias dan menciptakan distorsi publik," kata Hinca dalam akun twitternya @hincapandjaitan yang dikutip suara.com, Jakarta, Rabu (22/3/2017).
Hinca menambahkan, dalam dokumen hukum yakni Pasal 8 Undang-undang nomor 7 tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Admintratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden, disebutkan 'bahwa bekas (mantan) Presiden dan Wapres disediakan sebuah kendaraan milik negara beserta pengemudinya'.
"Sehingga SBY tidak dalam status meminjam atau menguasai mobil VVIP dengan cara ilegal. Mobil tersebut diserahkan sebagai wujud kewajiban melaksanakan UU nomor 7 tahun 1978," kata dia.
Setelah SBY purnabakti pada 2014, Hinca mengatakan, kewajiban negara untuk menyediakan kendaraan belum dilakukan dengan alasan penghematan. Baru pada 20 Oktober 2017, mobil yang telah digunakan SBY selama 7 tahun SBY itu, diantar dan diserahkan ke rumah SBY.
"Itu clear dan tidak ada cacat hukum," ujarnya.
Yang perlu digarisbawahi, kata Hinca, mobil tersebut berstatus milik negara saat penyerahannya. Operasionalnya pun, sambung Hinca, berada di bawah kendali Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres).
Dia menambahkan, sebuah fakta yang perlu diketahui oleh publik bahwa mobil yang disediakan negara tersebut jarang digunakan SBY. Mobil tersebut digunakan terakhir oleh beliau pada bulan September 2016. Setelah 20 menit digunakan seketika itu juga langsung rusak.
"Mobil tersebut kini sudah berusia 10 tahun dan kondisinya tidak cukup baik dan sangat mudah mengalami gangguan," tutur dia.
Baca Juga: Mobil Dinas Jokowi Sering Mogok, SBY Belum Kembalikan Mobil RI-1
"Dan, SBY baru saja menyelesaikan rangkaian perbaikan mobil tersebut minggu lalu," tambahnya.
Di sisi lain, Hinca menerangkan, SBY sudah lama memiliki keinginan untuk menyerahkan kendaraan tersebut kepada negara. Bahkan, staf dan unsur Paspampres sudah dibertahui oleh SBY.
"Etika bernegara yang baik oleh SBY ditunjukan. Maka 2 hari yang lalu Grup D Paspampres mengurus proses pengembaliannya. Niat baik SBY sudah disusun dan dirancang beberapa waktu yang lalu pada kenyataannya hari ini beliau dikecewakan pemberitaan miring yang beredar. Padahal, baru saja negeri ini disejukan oleh pertemuan Istana (Presiden Jokowi) dengan Presiden keenam (SBY) bebrapa waktu lalu," kata dia.
Pemberitaan soal mobil SBY ini muncul dari Kepala Sekretariat Presiden Darmasjah Djumala. Hinca beranggapan, pernyataan Darmasjah keliru dan membuat pilu.
"Media sosial kini ramai tidak beraturan, kembali hadir banyak caci setelah pemberitaan ini. Apa yang dihendaki oleh narasumber maupun penulis berita? Pemakaian kata dalam memberikan statement perlu diperhatikan lebih baik lagi oleh pihak Istana untuk ke depannya. Penting dalam komunikasi politik," tuturnya.
Dia beranggapan Djumala mencoba beretorika yang menurut Aristoteles, retorika memiliki tiga aspek pembuktian yaitu Logika, Etika, dan Emosional. Tiga aspek ini, kata Hinca tidak dipenuhi dengan baik oleh Djumala. Sehingga, sambungnya, retorika yang disampaikan Djumala mengandung kesesatan berpikir.
"Tendensi untuk menyudutkan SBY sangat jelas dengan pemberitaan yang sudah tersebar. Oleh karenanya patut diperbaiki oleh istana," kata Hinca.
Lebih jauh, Hinca menganggap politik adu domba tercium dalam pemberitaan ini. Dia juga menduga, ada yang berkepentingan dalam hubungan Presiden keenam SBY dan Presiden Jokowi.
"Presiden Jokowi perlu mencermati setiap pernyataan tokoh publik yang acap kali mencoba mengadu domba beliau dengan Bapak SBY. Penting!" ujarnya.
Hinfa menambahkan, klarifikasi ini adalah langkah awal yang dituntut ke Istana. Dia pun berharap jangan ada upaya-upaya di internal istana yang menganggu hubungan baik presiden Jokowi dan Presiden keenam SBY demi kepentingan sendiri atau kelompoknya.
"Terakhir, mari ciptakan situasi politik yang sejuk dan santun dalam bernegara. Sebab hal tersebut adalah edukasi politik yang murah dan mudah," kata Hinca.