Suara.com - Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Solahuddin Wahid (Gus Sholah), mengatakan tindakan mengintimidasi orang lain dengan membawa-bawa ajaran agama karena tidak memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta sesuai keinginannya, merupakan bentuk politisasi agama.
"Kalau saya memaksa orang lain mengikuti pendapat saya, itu politisasi agama. Saya menghukum orang lain yang tidak memilih pemimpin muslim itu juga politisasi," ujar Gus Sholah kepada Suara.com, semalam.
Beda kasus jika seseorang hanya menegaskan pendiriannya akan memilih pemimpin yang sesuai keyakinannya, tanpa mengintimidasi orang lain.
"Kalau saya menyatakan bahwa pendirian saya bahwa orang muslim harus memilih pemimpin muslim, itu tidak politisasi agama, itu keyakinan saya kok. Sejauh saya untuk (berbicara) di lingkungan sendiri nggak ada masalah," kata cucu pendiri Nahdlatul Ulama K. H. Hasyim Asyari.
Apa yang disampaikan Gus Sholah untuk menanggapi maraknya isu bernuansa agama menjelang pilkada Jakarta putaran kedua. Pilkada putaran kedua diikuti pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Pilkada akan diselenggarakan pada 19 April 2017.
Sebenarnya isu bernuansa SARA sudah muncul sejak kampanye putaran pertama, tetapi semakin kencang menjelang putaran kedua. Bahkan, sampai muncul spanduk di masjid dan kuburan berisi propaganda menolak menerima jenazah penista agama.
Sasaran spanduk tersebut adalah Ahok yang kini menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama.