Suara.com - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kembali melontarkan retorika fundamentalistik, yang menuduh negara-negara di Benua Eropa berupaya mengadu domba umat Islam dan Kristen dan memicu peperangan seperti era Perang Salib.
Retorika itu, seperti dilansir Independent.co.uk, merupakan respons Erdogan terhadap memanasnya hubungan diplomatik Turki dengan Belanda serta keputusan pengadilan bersama Uni Eropa (European Court of Justice; ICJ) soal larangan karyawati memakai jilbab.
“Situasinya saat ini adalah, Eropa tengah mengadu domba antara ‘bulan sabit’ dan ‘salib’ (Perang Salib). Ini sangat memalukan, Uni Eropa justru merusak nilai-nilai keadilan,” tegas Erdogan di hadapan pendukungnya, Kamis (16/3/2017).
Selain itu,Erdogan kembali mengecam pemerintah perwakilan Uni Eropa di Belanda dan Jerman karena membiarkan kedua negara itu mengusir dua menteri Turki.
Baca Juga: Pengelola Blok M Square Janji Biayai Pengobatan Korban Lift Jatuh
Beberapa jam sebelumnya, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menuding Eropa berada di tepi jurang perpecahan dan memicu perang agama.
Pengadilan bersama Uni Eropa atau ICJ, Senin (13/3) awal pekan ini, memutuskan setiap perusahaan yang berbasis di negara-negara anggotanya dibolehkan membuat peraturan melarang karyawatinya menggunakan atribut keagamaan, termasuk jilbab.
"Peraturan yang melarang memakai simbol politik, filsafat, atau agama, bukan bentuk diskriminasi,” demikian putusan ECJ yang dikutip Independent, Selasa (14/3).
Putusan tersebut dikeluarkan ECJ yang berkantor di Luxembourg itu, setelah dua karyawati dari Belgia dan Prancis mengadukan perihal pemecatan mereka karena enggan melepas jilbab.
Wanita pekerja Prancis yang mengadu itu berprofesi sebagai konsultan teknik komunikasi. Ia melaporkan sejumlah klien yang berbadan hukum memintanya melepas jilbab sebagai syarat kontrak.
Baca Juga: Jupe Dapat Cokelat dan Mawar Merah Putih dari Istri Djarot
Sedangkan karyawati asal Belgia mengadukan ke ECJ perusahaan G4S Secure Solutions tempatnya bekerja sebagai resepsionis melarang dirinya memakai jilbab saat bertugas.
Keputusan ECJ tersebut, disambut gembira oleh banyak politikus maupun partai politik yang menilai pemakaian jilbab maupun simbol agama lainnya justru sebagai bentuk diskriminasi hak asasi manusia.
Namun, tak sedikit pula yang menentang keputusan tersebut. Salah satu yang memprotes keputusan itu adalah Konferensi Rabbi Eropa, organisasi para pemuka agama Yahudi.
”ECJ jelas mengirimkan sinyal tanda bahaya untuk komunitas agama. Keputusan itu bukan hanya menyakiti wanita-wanita Muslim, tapi juga perempuan-perempuan dari komunitas agama lainnya,” kata Presiden Konferensi Rabbi Eropa, Rabbi Pinchas Goldschmidt.