Sejarawan: Politik SARA di Pilkada DKI Terbesar Dalam Sejarah

Jum'at, 17 Maret 2017 | 19:01 WIB
Sejarawan: Politik SARA di Pilkada DKI Terbesar Dalam Sejarah
Sejarawan JJ Rizal (paling kiri, bertopi) saat diskusi Evaluasi Pilkada DKI Putaran I, terkait SARA, Isu atau Fakta di Grand Sahid Jaya Hotel, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (17/3/2017). [Suara.com/Nikolaus Tolen]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejarawan JJ Rizal menilai penggunaan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dalam politik di Indonesia semakin terasa dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Bahkan Rizal menyebut, isu SARA dalam Pilkada DKI menjadi isu SARA paling besar dalam sejarah politik Indonesia setelah tahun 1965.

"Ya hari ini salah satunya, salah satu terbesar dalam sejarah kita. Dulu pernah ada tahun '65 dan berujung pada pembantaian SARA, dan itu terkait politik SARA," katanya saat hadir dalam diskusi hasil Pilkada DKI Putaran I dengan topik 'SARA, Isu atau Fakta' di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Pusat, Jumat (17/3/2017).

Rizal melanjutkan, politik SARA sebenarnya merupakan produk penjajah Indonesia. Namun, itu terus dijaga, sehingga lahirlah nama-nama kampung di Jakarta berdasarkan etnisnya masing-masing.

Baca Juga: Piala Sudirman 2017: Indonesia Kembali Satu Grup dengan Denmark

"SARA itu kan konstruksi kolonial, memang masyarakat itu dibuat dalam kelompok-kelompok agama, ras, etnis," ujarnya.

"Kalau kita lihat di Jakarta ini banyak sekali kampung yang namanya berdasarkan etnis, ada Kampung Jawa, Pecinan, Melayu, Bali, Arab. Itu adalah politik kolonial, karena mereka memang mau menbuat ada perbedaan, ada sekat-sekat," sambungnya.

Karena itu, alumnus jurusan sejarah Universitas Indonesia ini merasa heran, karena sebagai produk kolonial, seharusnya politik SARA tersebut sudah tidak dimainkan lagi di Indonesia yang sudah merdeka.

Adapun alasannya masih dikembangkannya politik SARA, kata dia, karena politisi yang sedang bertarung untuk menjadi pelayan masyarakat tidak mempunyai prestasi.

"Seharusnya sudah selesai (politik SARA) bersamaan dengan proklamasi kita. Eh ternyata dia masih terus hidup, karena politisi kita nggak punya prestasi, maka dia cari cara bagaimana menaruh perhatian dari masyarakat, maka dihidupkanlah politik SARA seperti itu," jelasnya.

Baca Juga: Juarai All England, Kevin/Marcus Naik ke Peringkat 1 Dunia

"Sangat tidak sehat dan itu menunjukkan pendidikan politik kita tidak berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan tidak mendidik masyarakat," tambahnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI