Suara.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho curiga usulan hak angket yang digulirkan Wakil Ketua DPR Fahri terkait penyidikan kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai bagian dari usaha untuk mengganggu fokus lembaga antirasuah menyelesaikan kasus yang telah merugikan negara Rp2,3 triliun.
"Saya melihat ini amunisi yang memang mereka siapkan untuk ganggu fokus KPK sehingga upaya untuk mendorong ini menghasilkan target yang mereka inginkan sehingga KPK tidak lagi fokus tangani e-KTP tapi fokus urusi revisi UU ini. Ini target jangka pendek," kata di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (16/3/2017) malam.
Sedangkan target jangka panjang mereka yaitu melemahkan posisi KPK yang sudah 13 tahun berkarya membasmi para koruptor negeri ini. Pelemahan posisi KPK melalui usaha merevisi undang-undang tentang KPK.
Emerson curiga sebagian anggota dewan menginginkan lembaga KPK tidak memiliki kewenangan penuh untuk memberantas korupsi dan mereka ingin bisa mengendalikan lembaga tersebut.
Tapi, Emerson yakin usaha tersebut tidak akan berhasil.
"Saya pikir sikap Presiden sudah jelas. Presiden tidak punya sikap baru setelah tahun kemarin yang menyatakan pemerintah tolak revisi UU KPK. Justru mereka, DPR yang menggiring supaya presiden setuju. Dan publik berharap presiden konsisten dengan sikapnya untuk tolak revisi UU KPK apalagi ini sarat kepentingan untuk hentikan kasus e-KTP," kata Emerson.
Upaya DPR untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK berlangsung sejak lama, terutama pada bagian kewenangan KPK untuk dapat melakukan penyadapan dan penuntutan.
Sidang perkara dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman, sudah dua kali berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam perkara yang mengakibatkan kerugian negara mencapai sekitar Rp2,3 triliun diduga melibatkan sejumlah anggota DPR periode 2009-2014 karena dalam berkas dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi nama-nama mereka tercantum sebagai pihak yang menerima fee dari proyek.
Tapi, hampir semua anggota DPR kala itu yang disebutkan dalam berkas dakwaan ramai-ramai membantah. Bahkan, bekas ketua DPR dari Demokrat Marzuki Alie sampai melapor ke Bareskrim Polri karena merasa namanya dicatut dalam dakwaan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD melalui akun Twitter @mohmahfudmd menyoroti kasus tersebut.
"Kalau benar dakwaan KPK, korupsi e-KTP adalah contoh yang sempurna tentang korupsi berjamaah. Ada imam, muadzin, jamaah. Jamaah paling banyak dari DPR," tulis Mahfud.
Mahfud mengaku agak dilematis ketika menyikapi para koruptor.
"Agak dilematis menyikapi koruptor. Satu sisi ingin diam karena dilarang saling mencela. Di sisi lain ingin berteriak untuk melawan kemunkaran," kata Mahfud.
Itu sebabnya, Mahfud mendukung KPK bekerja lebih cepat untuk menindak siapapun yang turut terlibat dalam kasus yang merugikan negara Rp2,3 triliun tersebut.
"Jangan tunda, @KPK_RI harus segera menyelidiki dan menyidik orang-orang yang diduga kuat terima aliran dana e-KTP secara haram," tulis Mahfud.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembuatan e-KTP akan bertambah.
"Kalau kerugian negaranya Rp2,3 triliun, dan bukan hanya dua orang itu yang bertanggung jawab, sebentar lagi mungkin ada gelar perkara, ada nambah orang (tersangka)," kata Agus di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (13/3/2017).