Suara.com - Setelah berunjuk rasa di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Dewan Perwakilan rakyat, Selasa (7/3/2017), puluhan mantan karyawan PT. Freeport Indonesia menggeruduk kantor Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut binsar Panjaitan.
Kedatangan para mantan karyawan ini untuk menyampaikan unek-uneknya kepada Luhut termasuk keputusan PHK yang telah dilakukan oleh perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini.
"Bapak pernah di Papua atau tidak? Saya ulayat, semua sudah susah. Sekarang daerah ada masalah. Itu tolong 1 tahun lagi. Jadi sekarang kita pulang tunggu di Timika. Sekarang kita tunggu di Timika," tutur salah satu pemuka adat kepada Luhut, Kamis (9/3/2017).
Menanggapi hal tersebut, Luhut memberikan penjelasan kepada mantan karyawan ini. Menurut Luhut, pemerintah nantinya akan memberikan 5 persen dari divestasi saham Freeport untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Di antaranya adalah untuk pengembangan pertanian hingga peternakan masyarakat.
Baca Juga: Diskusi Nasib Freeport, Jonan Panggil Para Mantan Menteri ESDM
"Kita bilang kita sudah mau kasih saham itu untuk pendidikan, peternakan. Supaya kita melihat lebih jauh supaya ada orang Papua bisa melihat lebih jauh," kata Luhut.
Luhut pun menegur kepada mantan karyawan Freeport ini untuk tidak mengeleuarkan unek-uneknya dengan nada tinggi. Pasalnya, saat ini pemerintah tengah mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan Freeport ini.
"Jangan kau marah-marah sama saya. Saya sudah tua. Sekarang saya rapat dulu. Kamu jangan marah-marahin saya. Saya mau bantu kalian," tegasnya.
Kisruh antara PT. Freeport Indonesia dengan pemerintah ini terjadi saat Menteri ESDM mengeluarkan Peraturan Pemerintah terkait perubahan status izin operasi Freeport dari Kontrak Karya menjadi Izin Pertambangan Khusus. Namun, perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini tidak setuju dengan beleid tersebut. Pasalnya tidak memberikan investasi jangka panjang.
President and Executive Freeport McMoRan Richard C Adkerson mengaku hingga saat ini PT Freeport Indonesia masih melakukan tahap perundingan dengan pemerintah Indonesia terkait perubahan status operasinya dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Baca Juga: Soal Polemik Freeport, Perlu Ada Formula Jalan Tengah
Richard mengaku memberikan waktu kepada pemerintah Indonesia selama 120 hari untuk berunding dan berkomunikasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.