Suara.com - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi melarang media massa televisi menyiarkan secara live proses persidangan perkara dugaan suap proyek kartu tanda penduduk elektronik yang akan berlangsung pada Kamis (9/3/2017).
"Iya, tidak boleh menyiarkan secara langsung. Sudah kebijakan pimpinan sidang tidak lagi disiarkan secara live," kata Hubungan Masyarakat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Yohanes Priana, Rabu (8/3/2017).
Larangan tersebut mengacu pada kesepakatan pimpinan sidang yang dituangkan dalam Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelas 1A Khusus Nomor W 10 u1/kp 01.1.1750sXI201601 tentang pelarangan peliputan atau penyiaran persidangan secara live oleh media massa.
Yohanes menegaskan yang dilarang hanya siaran live. Di luar live, wartawan tetap bebas melakukan peliputan.
Yohanes mengatakan pelarangan live dilakukan, antara lain agar jangan sampai sorot lampu kamera mengganggu proses persidangan.
"Liputan boleh. Tapi tidak live ya. Kan biasanya majelis mengingatkan, kalau mengambil gambar tidak boleh pakai lampu atau blitz. Karena itu mengganggu," kata Yohanes.
"Mengingat yang sudah terdahulu, pengadilan mengambil sikap bahwa persidangan sekarang sudah tidak boleh live lagi. Salah satunya lampu tadi," Yohanes menambahkan.
Yohanes menegaskan pengadilan tidak bermaksud untuk membatasi kebebasan pers.
"Persilakan masyarakat untuk hadir dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Siapapun juga. Tentu dengan mengingat kapasitas pengadilan. Kalau live artinya persidangan dihadirkan kepada masyarakat umum," katanya.
Majelis yang akan menyidangkan kasus dugaan suap e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto besok, terdiri atas lima orang. Mereka adalah Franki Tambuwun, Emilia, Anshori, Anwar, dan John Halasan Butar Butar.