Suara.com - Gubernur Sumatera Barat dinilai tidak berhak memaksa petani menyerahkan pengelolaan lahannya kepada pihak manapun. Meski dengan dalih gerakan percepatan tanam padi.
"Apapun alasannya, gubernur tidak berhak mengambil alih lahan pertanian masyarakat, dan petani berhak mengelola lahan sesuai ilmu pertanian yang dipahaminya," tegas anggota Majelis Nasional Petani (MNP) Serikat Petani Indonesia (SPI) wilayah Sumbar Eka Kurniawan Sago Indra, Rabu (8/3/2017).
Hal tersebut terkait Surat Edaran Gubernur Sumatera Barat Nomor 521.1/1984/Distanhorbun/2017 tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi yang menuai kontroversi karena dinilai merampas hak-hak petani secara paksa. Gubernur melibatkan tentara.
Lahan pertanian tidak bisa dipaksa terus-terusan untuk ditanami. Ada masa jeda yang harus dilakukan untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Baca Juga: Tentara 'Turun ke Sawah', Bagi Hasil untuk Petani Hanya 20 Persen
"Dulu, masa jeda itu bahkan sampai tiga bulan. Mengapa sekarang tiba-tiba petani dipaksa untuk merusak lahan sendiri dengan memaksa penanaman 15 hari setelah panen," kata dia.
Ia meminta gubernur untuk memahami ilmu tentang pertanian sebelum mengeluarkan kebijakan, demikian juga dengan para pembantunya di bidang tersebut.
"Kalau tidak paham pertanian, jangan urusi pertanian," katanya.
Menurutnya sekarang banyak lahan pertanian di Sumbar yang tidak bisa digarap karena tidak ada air yang tersedia. Seharusnya itu lebih menjadi perhatian dari pada program yang merugikan petani. (Antara)
Sebelumnya, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengeluarkan surat edaran tentang pengelolaan pertanian. Dalam edarat itu, tentara di sana bisa ambil alih pengelolaan petanian dengan syarat tertentu.
Baca Juga: Diduga ISIS, Petani Indonesia Ditangkap Polisi Malaysia
Surat Edaran bertanggal 6 Maret 2017 yang ditandatangani Irwan Prayitno. Dalam surat itu disebutkan petani harus menanam kembali lahannya 15 hari setelah panen.