Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahun. Ini adalah sebuah hari besar yang dirayakan di seluruh dunia untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial.
"Sebagai lembaga yang memiliki visi untuk menciptakan situasi masyarakat yang inklusif, setara, adil, dan berkelanjutan, LBH APIK Jakarta menyiakpi penegakan dan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan kali ini," kata Veni O. Siregar, Direktur LBH APIK Jakarta di Jakarta, Rabu (8/3/2017).
Sepanjang tahun 2016 terdapat pengaduan dari 854 perempuan korban kekerasan. Dari data tersebut hamipr semua korban berupaya secara mandiri membiayai dan mendorong proses Hukum. "Untuk itu dalam IWD kali ini kami mensoroti bagaimana sulitnya perempuan korban kekerasan mencari keadilan. Mulai dari harus membayar Visum et repertum, visum et psikiatrikum (VER),dan Kesehatan baik fisik atau psikologis," ujar Veni.
Baca Juga: AJI Kritik Media Semakin Perparah Korban Kekerasan Seksual
Belum lagi perempuan harus berupaya Mencari saksi atas kasusnya, saksi ahli hingga rumah aman. Baiya Visum yang catat harganya cukup mahal dari mulai Rp.150.000, samapi Rp1.500.000,- (untuk kasus Kkeerasan seksual). Kondisi ini tidak sebanding dengan IMPUNITAS bagi Pelaku. Dalam kasus KDRT dan kekerasan seksual yang dialami perempuan dewasa, hampir semua pelaku tidak ditahan. Kondisi ini membuat perempuan selalu dalam sistuasi tidak aman.
Kondisi ini juga diperparah dengan situasi kebijakan yang tidak berjalan untuk melindungi perempuan korban kekerasan. Seperti Perda DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 7 Tahun 2012 tentang Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Di Rumah Sakit. Dimana seharusnya dua kebikan ini bisa menjadi dasar pemebian layanan Psikososial dan hukum gratis bagi perempuan korban, namun tidak berjalan.
Juga praktek pelaksnaan UU PKDRT yang tujuanya untuk melindungo korban, malah pelaksanaannya mengkriminalisasi Korban.
Belum lagi kebijakan yang saat ini diinisiasi oleh DPR seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hingga kini belum dibentuk Panja dan dibahas. Juga dengan RKUHP yang masih menempatkan Perkosaan dalam Bab kesusilaan, bukan pada BAB Kejahatan Seksual.
"Artinya masih mengangap perkosaan sebagai tindak pidana yang melanggar norma yang hidup di masyarakat dan kesusilaan.bukan bagian dari kejahatan. RKUHP juga masih memasukkan pasal tentang Pencabulan yang sudah lama dianulir dalam kebijakan baru seperti UU Perlindungan anank dan UU TPPPO," tutur Veni.
LBH Apik menuntut aparat penegak hukum dan instansi pemerintah melaksanakan sistem peradilan pidana terpadu bagi perempuan korban kekerasan yang cepat, murah, transparan, adil serta berperspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender di Indonesia. Selain itu, aparat diminta menghentikan kriminalisasi dan reviktimisasi terhadap perempuan korban kekerasan
"Pemrpov DKI juga kami memberlakukan layanan terpadu dan Visum secara Gratis bagi perempuan korban. Pemprov DKI Jakarta harus Membentuk Rumah Aman Khsuus untuk perempuan dan anak korban kekerasan ," tutup Veni.