Eko Cahyono yang dihadirkan sebagai saksi meringankan oleh tim pengacara terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengaku mengenal baik sosok Ahok. Eko mengenal Ahok sejak 2004 ketika Eko masih menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bangka Belitung.
Eko dan Ahok semakin dekat ketika mereka berpasangan maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Bangka Belitung pada pilkada tahun 2007.
Ketua Hakim Dwiarso Budi Santiarto kemudian bertanya tentang hasil pilkada.
"Tapi itu kalah kan ya?" kata Dwiarso dalam persidangan di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (7/3/2017).
Eko mengatakan ketika itu kalah dengan angka tipis. Pasangan Ahok dan Eko berada di urutan kedua perolehan suara dari lima pasangan yang mengikuti bursa pilkada.
"Kalah yang mulia. Di urutan kedua. Saat itu pilkada satu putaran. Selisihnya tipis, saat itu banyak sekali pemilih yang tidak memiliki kartu panggilan," ujar Eko.
Eko mengungkapkan ketika itu mendapatkan black campaign berupa selebaran berisi seruan agar warga jangan memilih pemimpin non muslim.
"Ada banyak (selebaran) di Provinsi Bangka Belitung. Mereka (warga) dilarang pilih pemimpin non muslim. Disampaikan juga di masjid saat salat Jumat sama ditulis di selebaran-selebaran. Itu hal biasa di sana," kata Eko.
Anggota tim kuasa hukum Ahok, Josefina Syukur, kemudian bertanya kepada Eko mengenai alasannya mau berpasangan dengan Ahok yang non muslim.
Eko mengatakan bersedia berpasangan dengan Ahok karena pertimbangan kinerja Ahok yang bagus dan Ahok anti korupsi.
"Saya dapat kabar, semenjak dipegang Pak Basuki, Belitung Timur maju. Beliau juga bersih dan anti korupsi. Karena beliau banyak kerja dari daerah baru dimekarkan jadi maju," kata Eko.
Menurut Eko, Ahok sangat memperhatikan warga ketika menjabat bupati Belitung Timur. Bahkan, walaupun non muslim, Ahok mendukung pembangunan banyak masjid.
"(Ahok) tidak ada sedikitpun memusuhi Islam. Saya lahir 90 persen keluarga muslim. Saya juga nggak mau juga agama saya dijelekkan. Tidak mungkin dia (Ahok) menistakan agama Islam," katanya.
Eko dan Ahok semakin dekat ketika mereka berpasangan maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Bangka Belitung pada pilkada tahun 2007.
Ketua Hakim Dwiarso Budi Santiarto kemudian bertanya tentang hasil pilkada.
"Tapi itu kalah kan ya?" kata Dwiarso dalam persidangan di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (7/3/2017).
Eko mengatakan ketika itu kalah dengan angka tipis. Pasangan Ahok dan Eko berada di urutan kedua perolehan suara dari lima pasangan yang mengikuti bursa pilkada.
"Kalah yang mulia. Di urutan kedua. Saat itu pilkada satu putaran. Selisihnya tipis, saat itu banyak sekali pemilih yang tidak memiliki kartu panggilan," ujar Eko.
Eko mengungkapkan ketika itu mendapatkan black campaign berupa selebaran berisi seruan agar warga jangan memilih pemimpin non muslim.
"Ada banyak (selebaran) di Provinsi Bangka Belitung. Mereka (warga) dilarang pilih pemimpin non muslim. Disampaikan juga di masjid saat salat Jumat sama ditulis di selebaran-selebaran. Itu hal biasa di sana," kata Eko.
Anggota tim kuasa hukum Ahok, Josefina Syukur, kemudian bertanya kepada Eko mengenai alasannya mau berpasangan dengan Ahok yang non muslim.
Eko mengatakan bersedia berpasangan dengan Ahok karena pertimbangan kinerja Ahok yang bagus dan Ahok anti korupsi.
"Saya dapat kabar, semenjak dipegang Pak Basuki, Belitung Timur maju. Beliau juga bersih dan anti korupsi. Karena beliau banyak kerja dari daerah baru dimekarkan jadi maju," kata Eko.
Menurut Eko, Ahok sangat memperhatikan warga ketika menjabat bupati Belitung Timur. Bahkan, walaupun non muslim, Ahok mendukung pembangunan banyak masjid.
"(Ahok) tidak ada sedikitpun memusuhi Islam. Saya lahir 90 persen keluarga muslim. Saya juga nggak mau juga agama saya dijelekkan. Tidak mungkin dia (Ahok) menistakan agama Islam," katanya.