Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana memanggil paksa terhadap Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap terkait permohonan uji materi perkara di Mahkamah Konstitusi.
"Rochadi Tawaf hari ini diagendakan diperiksa untuk tersangka Basuki Hariman terkait dengan indikasi suap terhadap Patrialis Akbar dalam permohonan uji materi. Saksi ini tidak hadir dan kami belum mendapatkan konfirmasi ketidakhadirannya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/3/2017).
Febri menyatakan, bahwa sebelumnya KPK juga sudah memanggil Rochadi Tawaf pada 16 Februari 2017, namun yang bersangkutan juga tidak hadir tanpa keterangan.
"Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kami akan memanggil kembali dan kami ingatkan kepada saksi bahwa penyidik dapat melakukan panggil paksa atau kegiatan lain dalam proses penyidikan," ujarnya.
Baca Juga: Bikin Meme Hina Jokowi, Lelaki 36 Tahun Ini Ditangkap Bareskrim
Menurut dia, jika saksi-saksi yang sudah dipanggil secara patut kemudian tidak hadir lebih dari dua kali panggilan, KPK akan memanggil kembali yang bersangkutan.
"Kami harap dalam panggilan ketiga nanti saksi hadir karena penyidik membutuhkan keterangan saksi untuk mendalami lebih lanjut relasi antara posisi-posisi saksi dengan perkara ini," ucap Febri.
KPK sendiri sedang mendalami apabila ada rapat-rapat lain di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembahasan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan itu.
Terkait uji materi itu, KPK telah menetapkan empat tersangka termasuk mantan Hakim MK Patrialis Akbar.
"Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) ada dua kali. Jika ada rapat-rapat yang lain itu akan kami dalami siapa saja yang hadir, apa saja yang dibahas, apa rapat itu wajar tentu itu yang akan didalami," katanya.
Baca Juga: Sudah Tobat, Eks Teroris Ini Beri Materi di Sekolah Ideologi
Menurut Febri, memang terjadi sejumlah pertemuan dan draf terkait uji materi itu sempat keluar tidak hanya sekali sehingga KPK akan mendalami apakah hakim lainnya juga terlibat.
"Selain itu, kami cek CCTV dan saksi-saksi lain yang mengetahui apakah ada pihak lain yang meminta draf tersebut," ujarnya.
Patrialis ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman agar permohonan uji materil Perkara No 129/PUU-XIII/2015 tentang UU Nomor 41 Tahun 2014 Peternakan Dan Kesehatan Hewan agar dikabulkan MK.
Perkara No 129/PUU-XIII/2015 itu sendiri diajukan oleh 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Asnawi dan Rachmat Pambudi yang merasa dirugikan akibat pemberlakuan zona "base" di Indonesia karena pemberlakuan zona itu mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.
UU itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "Zone Based", dimana impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) hewan ternak bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), termasuk sapi dari India.
Hal itu berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni "country based" yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru. Australia adalah negara asal sapi impor PT Sumber Laut Perkasa.
Patrialis bersama dengan orang kepercayaannya Kamaludin disangkakan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama seumur hidup atau 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Tersangka pemberi suap adalah Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, yang disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Kamis (16/2) telah memutuskan hakim konstitusi Patrialis Akbar melakukan pelanggaran berat dan menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat. (Antara)