Suara.com - Keramahan dan semangat persaudaraan yang ditunjukkan masyarakat Indonesia terhadap para pengungsi pencari suaka dari negara-negara konflik diapresiasi oleh peneliti asal Jerman, Antje Missbach.
"Banyak keramahan yang ditunjukkan masyarakat umum Indonesia dengan menyambut dan memperlakukan para pengungsi asing ini dengan cara yang bersahabat," kata Antje dalam acara peluncuran buku karyanya berjudul "Troubled Transit, Asylum Seekers Stuck in Indonesia" di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Haus, Jakarta, Kamis malam (23/2/2017).
Menurut staf pengajar antropologi di Monash University, Australia itu, kelebihan Indonesia dalam hal ramah tamah dan keakraban benar-benar layak ditekankan karena di banyak negara lain para pencari suaka harus menghadapi penolakan dan masalah yang lebih rumit.
Tidak jarang bahkan pengungsi yang berusaha menyelamatkan diri dari negara-negara konflik seperti Afghanistan, Iran, Sri Lanka, Pakistan, dan Myanmar, dipaksa kembali ke laut untuk melanjutkan perjalanan mereka di tengah keterbatasan perbekalan dan kondisi perahu-perahu yang sebagian besar kelebihan kapasitas.
"Saya rasa keramahan orang Indonesia menjadikan hidup mereka lebih baik," ungkap Antje, seperti dilansir dari Antara.
Di sisi lain, ia menganggap bahwa keramahan saja tidak cukup untuk memenuhi hak-hak dasar para pengungsi terutama untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan layak.
Harus menjalani hidup dalam ketidakpastian tentang masa depan, tanpa pekerjaan dan rutinitas, berpotensi membuat para pengungsi menderita.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri untuk mengisi kekosongan hukum pengaturan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.
Antje menilai penerbitan perpres tersebut sebagai sebuah kemajuan bagi Indonesia, meskipun masih banyak tantangan yang perlu ditangani dengan tepat.
"Peraturan tersebut lebih berperan sebagai pedoman teknis daripada sebuah kebijakan yang tepat," ungkapnya.
Sependapat dengan Antje, jaringan masyarakat sipil Indonesia untuk perlindungan hak pengungsi, SUAKA, juga mengapresiasi perpres yang dapat menjadi rujukan bagi setiap pejabat pemerintah di Tanah Air dalam hal penanganan pencari suaka atau pengungsi.
Menurut SUAKA, yang terpenting dari Perpres 125/2016 adalah implementasi yang sangat terkait dengan pemahaman dan kemampuan aparat di lapangan untuk menjalankannya. Selama ini, pengungsi dan pencari suaka dipandang secara negatif sebagai imigran gelap atau ilegal.
"Perpres ini mengacu pada Konvensi Pengungsi 1951 yang membedakan definisi pengungsi dengan imigran ilegal. Karena berbeda dari imigran gelap yang seringkali menyalahgunakan izin tinggal mereka, para pengungsi di sini tidak punya pilihan lain selain pergi dan menyelamatkan diri dari konflik berkepanjangan di negara asalnya," kata Koordinator Sekretariat SUAKA Rizka Argadianti Rachmah.
Meskipun demikian, pendekatan keamanan nasional yang digunakan dalam penyusunan perpres tersebut justru menambah kerentanan bagi pencari suaka karena mereka tidak mendapat kebebasan atas detensi, akses terhadap pekerjaan yang layak, dan perlindungan yang sama di bawah hukum.
"Pada dasarnya kami mengapresiasi peraturan presiden ini, tetapi bagi SUAKA ini masih jalan panjang menuju proses pemenuhan HAM yang sejati," ujar Rizka.
SUAKA mencatat hingga Desember 2016 terdapat lebih dari 14.700 pengungsi dan pencari suaka dari 49 negara, yang berada di Indonesia.
Sebagian besar pengungsi harus menunggu selama kurang lebih dua tahun dalam proses pendaftaran untuk mendapat sertifikat pencari suaka dari UNHCR, karena sebagai negara transit yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia tidak memberikan hak bagi para pengungsi dan pencari suaka untuk menetap dan menjadi warga negara yang sah.
Indonesia juga tidak mengakui prinsip integrasi lokal, sehingga hanya bisa memberi toleransi bagi pengungsi dan pencari suaka untuk tinggal sementara hingga mereka memutuskan kembali ke negara asal secara sukarela atau berpindah ke negara lain.