Suara.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Gerindra Fadli Zon menilai penafsiran Jaksa Agung M. Prasetyo terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam konteks kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bernuansa politik.
"Ini interpretasi bias politik," kata Fadli di DPR, Selasa (21/2/2017).
Menurut Fadli Zon penafsiran Prasetyo dapat memunculkan opini ketidakadilan hukum. Padahal, sejumlah kepala daerah yang sudah menjadi terdakwa dinonaktifkan oleh Kementerian Dalam Negeri.
"Jelas sudah didakwa dan yuriprudensi. Harusnya adil dan seadilnya," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Sebelumnya, Prasetyo mengatakan penonaktifan sementara Ahok sebagai gubernur baru dapat dilaksanakan kalau hakim menjatuhkan vonis.
Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan pemerintah masih menunggu tuntutan jaksa penuntut umum untuk memutuskan status Ahok, apakah diberhentikan untuk sementara atau tetap tidak.
Prasetyo menjelaskan Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014 menyebutkan kepala daerah atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara kalau melakukan tindak pidana yang diancam hukuman minimal lima tahun.
Sementara dakwaan alternatif terhadap Ahok Pasal 156 huruf a hukumannya maksimum lima tahun.
Sebelum itu, untuk menengahi berbagai penafsiran terhadap UU tersebut, Kemendagri meminta Mahkamah Agung membuat fatwa.
Tapi, Mahkamah Agung menolak memberikan pendapat terhadap status Ahok.
"Isi surat adalah kami tidak memberikan pendapat karena sudah ada dua gugatan TUN (Tata Usaha Negara) yang masuk ke Pengadilan TUN," kata Wakil Ketua MA bidang Yudisial Syarifuddin seusai seminar Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Implementasi Perma Nomor 13 Tahun 2016 di Jakarta, Selasa (21/2/2017).
Mendagri pada 14 Februari 2017 mendatangi MA untuk meminta fatwa tentang status Ahok yang kini menjadi terdakwa kasus dugaan penistaan agama.
Status Ahok yang kembali diaktifkan menjadi gubernur sejak Sabtu (11/2/2017) menuai pro dan kontra.