Pada Oktober 2011, gerilyawan menangkap dan membunuh Khadafi di kota kelahirannya, Sirte, dan menggulingkan rezimnya yang telah berkuasa selama 42 tahun.
"Kami turun ke jalan dengan spontan. Kami bersatu sekalipun kami tidak saling mengenal. Kami memiliki harapan tinggi dan setiap orang memimpinkan Libya baru yang stabil dan makmur. Tapi sayangnya, tidak semua keinginan dapat terwujud," kata Mohamed An-Ne'mi, seorang gerilyawan dari Tripoli.
Tapi lelaki tersebut tidak kehilangan harapan buat negerinya.
"Kami akan bersabar dan kami memiliki keyakinan pada tujuan kami meskipun kekacauan melanda negeri kami. Kami tetap optimistis mengenai masa depan kami," katanya.
Baca Juga: Nasib Lorenzo Bakal Tak Beda Jauh dengan Rossi di Ducati?
Di lain pihak, Najwa Al-Hami, seorang pegiat hak asasi manusia, mengatakan apa yang terjadi di Libya bukanlah revolusi.
"Mana mungkin ini revolusi rakyat sedangkan tiga-perempat rakyat mendukung Khadafi?" kata Al-Hami.
"Apakah protes oleh ratusan orang di setiap kota adalah revolusi? Saya percaya dinas intelijen barat berada di belakangnya untuk mengubah rezim Khadafi melalui kekerasan."
"Revolusi milik setiap politikus yang memiliki dwi-kewarganegaraan dan memiliki rekening bank di luar negeri. Mereka sangat ingin merayakan peringatan sebab itulah alasan mengapa mereka berada pada posisi ini," ungkapnya.