Agar Jurnalis Tak Jadi Korban Terus, Ini Pesan LBH Pers

Siswanto Suara.Com
Selasa, 14 Februari 2017 | 12:57 WIB
Agar Jurnalis Tak Jadi Korban Terus, Ini Pesan LBH Pers
Ilustrasi jurnalis demonstrasi (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Era demokrasi adalah era dimana masyarakat bisa bebas memilih pemimpin sesuai dengan hati nuraninya masing-masing. Dalam kurang lebih tiga bulan belakangan ini, gairah masyarakat akan politik seakan semakin meningkat sehingga sebagian masyarakat sudah memposisikan dirinya sebagai pendukung salah satu calon.

Gairah tersebut dicurahkan dengan berbagai aktifitas, baik itu melalui media sosial dan aksi-aksi dukungan lainya. Dan dalam masa ini pula, Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat setidaknya ada lebih dari lima tindak kekerasan terhadap jurnalis yang sedang meliput ekspresi masyarakat tersebut.

Pada tanggal 4 November 2016 di Jakarta setidaknya ada dua media massa (salah satunya adalah Kompas TV) yang menjadi korban intimidasi dan pemukulan saat hendak mengambil gambar massa yang hendak melempar botol ke arah aparat kepolisian. Sedangkan di Medan Sumatera Utara, mobil Metro TV yang hendak meliput aksi diusir untuk segera meninggalkan lokasi aksi.

Pada tanggal 2 Desember 2016 di Jakarta, ada beberapa jurnalis yang sedang meliput aksi diintimidasi dan dilempari botol oleh massa aksi. Salah satu media massa yang menjadi korban intimidasi dan pelarangan peliputan adalah media Metro TV. Shinta Novita (juru kamera) dan Aftian Siswoyo (reporter) di halaman Masjid Istiqlal dan Rifai Pamone (reporter) di depan Gedung Sapta Pesona.

Intimidasi terhadap Shinta dan Aftian terjadi sekitar pukul 15.00 WIB, saat akan mempersiapkan siaran langsung dari depan Istiqlal pascabubarnya aksi 212 di Monumen Nasional.

Kekerasan selanjutnya terjadi pada jurnalis tirto.id yang hendak meliput persiapan aksi 212 di markas FPI.

Pada tanggal 11 Februari 2017 di Jakarta, terjadi kekerasan terhadap dua jurnalis Metro TV. Kejadian berawal ketika Ucha dan Desi serta Yaudi meliput aksi 112 melalui pintu samping masjid menuju pintu Al Fatah.

Saat hendak masuk ke dalam masjid, massa meneriaki dan menggiringnya keluar dari masjid. Saat dikawal keluar masjid, Ucha dipukul empat kali pada perut bagian kiri dan leher belakang, serta ditendang bagian paha kanan dan betis kiri. Saat dikawal ke luar masjid, Ucha dipukul 4 kali pada perut bagian kiri dan leher belakang, serta ditendang bagian paha kanan dan betis kiri.

Kedua wartawan tersebut —Ucha Fernandez dan Desi Fitriani— melaporkan aksi pemukulan itu sesuai laporan polisi nomor: 230/K/II/2017 Restro Jakarta Pusat tertanggal 11 Februari 2017.

"LBH Pers sangat menyayangkan peristiwa kekerasan yang terjadi pada jurnalis, dan tindakan tersebut sebenarnya sangat merugikan dan melemahkan atas gerakan yang telah dibangun tersebut.

LBH Pers juga menilai, pertama, pekerjaan jurnalis adalah pekerjaan yang dilindungi oleh hukum dan konstitusi Indonesia. Karena sejatinya mereka adalah bekerja untuk memenuhi hak informasi masyarakat secara luas dan ketika pekerjaan jurnalis dihalang-halangi atau bahkan diintimidasi, maka sebenarnya yang menjadi korban adalah masyarakat yang lebih luas. Karena masyarakat mempunyai hak atas informasi dan sebagai prasyarat negara demokrasi.

"Kedua, jurnalis bekerja berdasarkan pedoman, nilai-nilai yang telah dibingkai di dalam konstitusi, kode etik jurnalistik dan pedoman perilaku dan oleh karena itu mereka harus dilindungi oleh negara dan masyarakat wajib menghormati. Dan jika memang ada informasi yang dianggap merugikan pemirsa atau masyarakat jalur yang semestinya ditempuh adalah hak jawab atau hak koreksi sebagaimana UU Pers mengaturnya, bukan menghakimi kehendak masing-masing," kata Nawawi Bahrudin.

Ketiga, apapun alasannya LBH Pers sangat mengecam keras tindak kekerasan pada jurnalis dan kekerasan adalah bentuk pelanggaran hukum baik itu dilakukan terhadap masyarakat biasa terlebih terhadap jurnalis dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga kepolisian harus proaktif dalam menindak pelaku kekerasan.

Keempat, pada saat pilpres 2014, media mempunyai pengalaman buruk terhadap independensi pemberitaan, khususnya persoalan pemilu. Dan kekhawatiran akan terulangnya hal tersebut muncul kembali pada saat pilkada serentak nanti tanggal 15 Februari 2017.

"Perusahaan media selain bertanggungjawab penuh atas keselamatan jurnalisnya di lapangan yang sedang mencari berita, tapi juga harus menjaga independensi media itu sendiri dan tidak menyerahkan tanggung jawab ini kepada yang lainya, apalagi menjadi alat tawar sesuatu dengan motif ekonomi," kata Nawawi Bahrudin.

Kelima, pada tanggal 15 Februari 2017, Indonesia akan mengadakan pilkada serentak di beberapa wilayah, dan potensi kekerasan kepada jurnalis sangat mungkin terjadi.

"Sehingga kami meminta kepada aparat Kepolisian untuk memberikan respon cepat dan perlindungan kepada jurnalis yang sedang melakukan tugas jurnalistiknya untuk meliput pilkada," kata Nawawi Bahrudin.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI