Tak Nonaktifkan Ahok, Mendagri Diapresasi

Minggu, 12 Februari 2017 | 14:24 WIB
Tak Nonaktifkan Ahok, Mendagri Diapresasi
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo [suara.com/Dian Rosmala]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mengapresiasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo yang tidak menonaktifkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Padahal Ahok sudah mengakhiri masa cuti kampanyenya sebagai Calon Gubernur Petahana bersama wakilnya, Djarot Syaeful Hidayat.

Diketahui, Ahok menjadi terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama. Dan saat ini masih terus menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Berdasarkan Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah, sebagai terdakwa, Ahok seharusnya diberhentikan sementara atau dinonaktifkan.

"Kita patut mengapresiasi sikap konsistensi dan kehati-hatian Mendagri Tjahjo Kumolo dalam menggunakan kewenangan diskresinya ketika menghadapi kelemahan ketentuan Pasal 83 UU Pemda dimaksud, satu dan lain guna menghindari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Mendagri Tjahjo Kumolo menuai gugatan atau tuntutan dari masyarakat. Karena salah menerapkan hukum dalam mengeluarkan Surat Keputusan Pemberhentian Sementara kepada Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta," kata Koordinator TPDI, Petrus Selestinus melalui keterangan persnya, Minggu (12/2/2017).

Menurut Petrus, Presiden dan Mendagri rentan digugat oleh masyarakat karena ancaman pidana dari pasal yang didakwakan kepada Ahok bersifat maksimum, yakni paling tinggi lima tahun berdasarkan Pasal 156 a KUHP. Tidak hanya itu, dakwaan terhadap Mantan Bupati Belitung Timur tersebut juga bersifat alternatif yakni Pasal 156a dan atau Pasal 156 KUHP yang ancaman maksimalnya hanya empat tahun penjara.

"Sementara ketentuan di dalam Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemda mensyaratkan ancaman pidana paling singkat lima tahun. Karena itu Mendagri tidak boleh gegabah dan harus mencermati secara saksama sistim pemidanaan kita yang saat ini menganut sistem pemidanaan dengan menetapkan ancaman pidana secara minimum dan maksimum penjara," katanya.

Menurut advokat dari Peradi tersebut, di dalam ketentuan pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemda disebutkan bahwa 'kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia'.

"Kata-kata paling singkat lima tahun mengandung konsekuensi bahwa hanya tindak pidana yang diancam dengan pidana paling singkat lima tahun sebagai batas minimum, maka seorang Kepala Daerah dapat diberhentikan sementara," kata Petrus.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa berdasarkan asas 'lex specialis derogat legi generalis', maka ketentuan Pasal 156 dan 156a KUHP harus dikesampingkan atau tidak dapat dijadikan landasan hukum untuk memberhentikan sementara Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta. Karena ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Tentang Pemda, memberlakukan ketentuan pidana yang mengancam seorang Kepala Daerah dengan pidana paling singkat lima tahun, sementara ancaman pidana 5 tahun penjara dalam pasal 156a KUHP adalah ancaman yang bersifat maksimum atau paling lama yaitu lima tahun penjara.

"Ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebegai 'lex specialis derogat legi generalis' secara limitatif mensyaratkan hanya perbuatan pidana yang diancaman dengan pidana paling singkat (bukan paling lama), sehingga dengan demikian ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemda tidak dapat diberlakukan terhadap Ahok," katanya.

Dalam perkara pidana yang didakwakan kepada Ahok, kata dia, Jaksa Penuntut Umum telah mendakwa dengan Surat Dakwaan yang disusun secara alternatif yaitu melanggar Pasal 156 a KUHP atau pasal 156 KUHP. Ketentuan pasal 156a KUHP menyebutkan bahwa 'dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun (paling lama) barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dan seterusnya. Sedangkan dalam pasal 156 KHUP disebutkan bahwa 'barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, dan seterusnya," kata Petrus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI