Suara.com - Mahkamah Konstitusi (MK) diprediksi menerima banyak permohonan penyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebab, 101 daerah di Indonesia bakal menggelar pilkada serentak, Rabu (15/2/2017) pekan depan.
Agar permohonan penyelesaian sengketa itu tidak bertumpuk dan menyebabkan proses pilkada tersendat, hakim MK diminta menyetop rencana perjalanan dinas untuk sementara waktu.
“Permohonan penyelesaian sengketa pilkada yang masuk ke MK pasti ‘banjir’. Jadi, hakim MK sebaiknya tidak berjalan-jalan dulu. Hakim itu kerjanya bersidang, jadi fokus saja, jangan wara-wiri,” pinta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie, di Hotel Aryaduta, Tugu Tani, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (9/2/2017).
Ia mengatakan, jumlah hakim MK yang kekinian hanya delapan orang, setelah Patrialis Akbar dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak menjadi kendala untuk bisa cepat menyelesaikan beragam kasus sengketa pilkada.
Baca Juga: Kapolda Metro: Isu Panas Hanya di Medsos
Sebab, kata mantan Ketua MK ini, merujuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, jumlah hakim yang memutuskan sebuah persidangan hasil sengketa pilkada sekurang-kurangnya tujuh hakim.
“Kalaupun ada sengketa yang harus diselesaikan dengan pemungutan suara hakim, tidak masalah jika sama kuat. Kalau ada empat hakim setuju dan empat lainnya tidak, masih ada Ketua MK yang menjadi penentu,” tukasnya.
Sementara terkait kasus yang menjerat Patrialis, Jimly mengatakan hal tersebut merupakan wewenang Presiden Joko Widodo. Namun, Jimly meyakini, Patrialis bakal diberhentikan oleh presiden dalam waktu dekat.
"Soal penggantinya, terserah kepada anggota hakim MK, apakah akan diisi atau ada solusi lain,” tandasnya.
Baca Juga: Sumarsono Klaim Bereskan 95 Persen Tugasnya Selama Ahok Cuti