Suara.com - Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama Syafiq Alieha dapat memahami sikap Rois Aam Nahdlatul Ulama yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin tidak melakukan pertemuan dengan calon gubernur Jakarta petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) setelah terjadi polemik. Pasalnya, jika pertemuan dilakukan di tengah suasana politik yang panas menjelang pilkada Jakarta, justru akan memunculkan masalah baru.
"Saya kira itu normal ya, saya kira situasinya kan memang tidak pas, situasi sekarang, saya kira kalau orang seperti Kyai Haji Said Aqil, Kyai Haji Ma'ruf Amin atau tokoh manapun, menerima salah satu dari calon, itu akan muncul penafsiran yang mungkin lebih ruwet, gitu loh. Menurut saya sikap Ma'ruf bisa dipahami," katanya di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/2/2017).
Menurut Syafiq setelah Ahok menyampaikan permintaan maaf kepada Ma'ruf melalui media massa dan melalui media massa pula Ma'ruf memaafkannya, itu sudah cukup untuk menjelaskan bahwa di antara mereka sudah tidak ada masalah.
Jika masih ada desakan agar Ahok meminta maaf langsung kepada Ma'ruf menjelang pilkada, kata Syafiq, hal itu sudah tidak relevan.
"Sebenarnya, saya kira itu tidak relevan, nantilah, kan Kyai Haji Ma'ruf sudah memaafkan, dan Ahok, mungkin secara sosial pernyataannya dianggap kurang tepat, dan Kyai Haji Ma'ruf sudah memaafkan, Kyai Haji Ma'ruf kan nggak komplain apa-apa," kata Syafiq.
Syafiq menilai sebenarnya sikap Ahok dan pengacaranya ketika menyikapi kesaksian Ma'ruf Amin di persidangan kasus dugaan penodaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, pada Selasa (31/1/2017), merupakan hal yang wajar.
Sikap Ahok menjadi heboh karena ada yang menariknya ke kepentingan politik dengan menyebutnya tidak sopan terhadap ulama.
"Yang komplain kan dari luar yang memang, bagaimana masyarakat kita ini kan punya tata krama bicara tertentu, yang sebenarnya mungkin tidak cocok dengan realitas di pengadilan, karena di pengadilan boleh mengejar fakta mengonfrontasi kesaksian segala macam," katanya.
"Cuma masyarakat kita ini kan punya tata krama bicara yang berbeda dan tidak siap dengan itu. Tapi ini, kan harus dipahami sebagai sebuah upaya untuk menyingkap sebuah kebenaran, kita harus pahami itu, entah manis atau pahit," Syafiq menambahkan.