Proses hukum terhadap dugaan pelaku penodaan, penistaan, dan penghinaan agama terjadi pro-kontra pada rapat dengar pendapat umum Panitia Kerja RUU KUHP Komisi III DPR RI dengan perwakilan organisasi keagamaan.
Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP dipimpin oleh Ketua Panja, Benny K Harman, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.
Pada rapat tersebut, anggota Komisi III DPR RI menyampaikan pandangan berbeda-beda dengan pertimbangan masing-masing sehingga terjadi perdebatan.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Partai Demokrat, Didik Mukrianto, menilai, dugaan penghinaan, penodaan, atau penistaan agama harus menjadi delik aduan yang masuk dalam usulan Bab VII RUU KUHP yang sedang dibahas.
"Kalau dugaan penghinaan, penodaan, atau penistaan agama tidak menjadi delik aduan, akan sangat bahaya," katanya.
Menurut Didik, jika pemerintah tidak bijak terhadap penegakan hukum maka pasal ini dapat menjadi alat kekuasaan," jelas Didik.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, menilai dugaan penghinaan, penodaan, penistaan agama, bukan merupakan delik aduan, karena negara harus hadir untuk mengambil tindakan dan langkah selanjutnya sepanjang ada unsur-unsurnya dalam KUHP dan dibuktikan di pengadilan.
"Belajar agama bukan seperti pendidikan formal yang hanya beberapa tahun. Apalagi agama di Indonesia banyak dan ada kepercayaan juga," katanya.
Pada rapat Panja RUU KUHP tersebut juga mengemuka usulan tentang perlunya perumusan definisi dari penghinaan, penistaan, dan penodaan dalam RUU KUHP dan menjadi hukum positif nantinya.
Pasalnya, jika hal tersebut tidak dirumuskan, dan batasan-batasan tentang penistaan diserahkan kepada masing-masing organisasi, maka akan menyulitkan aparat penegak hukum dalam memprosesnya. [Antara]