Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mendukung wacana penggunaan hak angket yang digulirkan Fraksi Demokrat untuk menyelidiki dugaan penyadapan terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
"Saya kira mendukung dan saya termasuk setuju (hak angket) dan mau menandatangani agar penyadapan kita ini segera dan nanti ujungnya adalah presiden segera mengerahkan atau membuat UU tentang penyadapan, karena ini sudah darurat," kata Fahri di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (5/1/2017).
"Saya kira mendukung dan saya termasuk setuju (hak angket) dan mau menandatangani agar penyadapan kita ini segera dan nanti ujungnya adalah presiden segera mengerahkan atau membuat UU tentang penyadapan, karena ini sudah darurat," kata Fahri di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (5/1/2017).
Fahri menjelaskan hak angket merupakan penggunaan hak anggota atas suatu peristiwa yang dicurigai berdasarkan fakta-fakta yang ada, misalnya praktik pelanggaran UU yang mengganggu masyarakat. Fahri mengatakan selama dua tahun terakhir DPR baru satu kali menggunakan hak angket yaitu dalam kasus Pelindo.
"Jadi kalau sekarang kita menyelidiki soal penyadapan, memang penyadapan ini sudah terlalu banyak meresahkan, baik yang menggunakan kabel atau tanpa kabel," kata dia.
Ide menggunakan hak angket digulirkan Fraksi Demokrat untuk menyambut konferensi pers Yudhoyono pada Rabu (1/2/2017). Yudhoyono curiga teleponnya disadap. Pangkal kecurigaan Yudhoyono berasal dari pertanyaan pengacara Basuki Tjahaja Purnama di persidangan perkara dugaan penodaan agama kepada Ketua MUI Ma'ruf Amin untuk mengonfirmasi apakah ada telepon dari Yudhoyono kepada Ma'ruf yang intinya untuk mengatur pertemuan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni di kantor PBNU pada Jumat (7/10/2017) dan meminta menerbitkan fatwa MUI berisi Ahok menghina ulama dan Al Quran.
Fahri mengatakan untuk memastikan apakah dugaan penyadapan itu benar terjadi dibutuhkan langkah penyelidikan.
"Apakah software penyadapan yang berkeliaran dimana-mana itu telah digunakan oleh masyarakat atau pejabat secara tidak bertanggungjawab sehingga muncullah peristiwa Ahok itu yang betul-betul agak definitif karena lawyer-nya mengatakan menit dari suatu percakapan dan jam 10 lewat 16 'anda ditelepon oleh Pak SBY." Itu menandakan bahwa ada perekaman yang terjadi pada percakapan itu," kata Fahri.
Penyadapan, kata Fahri, merupakan isu serius. Dia menyontohkan kasus di Edward Snowden di Amerika Serikat yang kemudian menjadi skandal.
"Nah itu sebetulnya suatu peristiwa yang luar biasa. Di AS kan ini jadi skandal besar, sampai kemudian seorang operator NSA yang sangat kita kenal, yaitu Edward Snowden yang sampai sekarang lari di Rusia dan kemudian terus menerus membuka, bahwa penyadapan oleh Amerika itu skandal besar. Nah kita sebelum terjadi skandal besar seperti itu sebaiknya kita melakukan penyelidikan, apa yang terjadi," kata dia.
Fahri menilai langkah mendorong penggunaan hak angket DPR untuk menyelidiki pemerintah sudah tepat. Dia berharap anggota fraksi lain di DPR mendukung wacana ini.
"Yang kita perlukan itu bukan sekedar proses hukumnya, tetapi investigasi. Seperti misalnya saya masih bertanya, bagaimana dulu Setnov (Novanto) disadap, iya kan. Karena kita harus verifikasi apakah penyadapan itu pakai HP, atau pakai alat yang dipasang di tempat lain, karena penyadapan sekarang itu dengan teknologi yang sangat luas sekali, dan itu harus kita lacak. Karena akhirnya apa, Indonesia ini bobol, rahasia negara itu bocor kemana-mana. Maka tidak ada lagi security, keamanan dalam negeri, pertahanan itu sudah tidak ada lagi," kata dia.
Fahri menyontohkan lagi kasus Yudhoyono yang disadap Australia.
Ketika ditanya, apakah percaya Yudhoyono disadap, menurut Fahri itulah pentingnya penelitian.
"Kalau saya mendengar pernyataan lawyer (Ahok), itu (percakapan) persis 10.16 itu, artinya dia tahu persis mengenai jamnya. Dan saya kira itu harus diteliti.
Fahri dapat memahami pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang membantah tidak penyadapan.
"Ya kalau pemerintah mungkin tidak mau repot, tapi kami di DPR atas nama rakyat kita harus tahu betul ini apa yang terjadi. Dan itu harus diangkat, harus dicari apa yang terjadi," kata Fahri.
Fahri mengatakan rangkaian faktanya bukan hanya dipersidangan Ahok pada Selasa (31/1/2017) lalu, tetapi banyak fakta lain yang telah terjadi.
"Seperti kasus Setnov. Saya agak takut ya, bahwa semua hasil penyadapan yang dihadirkan di dalam banyak ruang sidang sekarang ini didapatkan dengan cara yang tidak bertanggungjawab dan ilegal," kata dia.
Itu sebabnya, menurut Fahri penggunaan hak angket penting untuk dilakukan.
"Karena banyak ruang sidang dikotori oleh alat-alat bukti yang diperoleh secara ilegal. Kalau kita menyidang orang dengan dokumen, bahan ilegal, hasil curian, maka itu juga ilegal. Saya kira itu," kata dia.
"Jadi kalau sekarang kita menyelidiki soal penyadapan, memang penyadapan ini sudah terlalu banyak meresahkan, baik yang menggunakan kabel atau tanpa kabel," kata dia.
Ide menggunakan hak angket digulirkan Fraksi Demokrat untuk menyambut konferensi pers Yudhoyono pada Rabu (1/2/2017). Yudhoyono curiga teleponnya disadap. Pangkal kecurigaan Yudhoyono berasal dari pertanyaan pengacara Basuki Tjahaja Purnama di persidangan perkara dugaan penodaan agama kepada Ketua MUI Ma'ruf Amin untuk mengonfirmasi apakah ada telepon dari Yudhoyono kepada Ma'ruf yang intinya untuk mengatur pertemuan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni di kantor PBNU pada Jumat (7/10/2017) dan meminta menerbitkan fatwa MUI berisi Ahok menghina ulama dan Al Quran.
Fahri mengatakan untuk memastikan apakah dugaan penyadapan itu benar terjadi dibutuhkan langkah penyelidikan.
"Apakah software penyadapan yang berkeliaran dimana-mana itu telah digunakan oleh masyarakat atau pejabat secara tidak bertanggungjawab sehingga muncullah peristiwa Ahok itu yang betul-betul agak definitif karena lawyer-nya mengatakan menit dari suatu percakapan dan jam 10 lewat 16 'anda ditelepon oleh Pak SBY." Itu menandakan bahwa ada perekaman yang terjadi pada percakapan itu," kata Fahri.
Penyadapan, kata Fahri, merupakan isu serius. Dia menyontohkan kasus di Edward Snowden di Amerika Serikat yang kemudian menjadi skandal.
"Nah itu sebetulnya suatu peristiwa yang luar biasa. Di AS kan ini jadi skandal besar, sampai kemudian seorang operator NSA yang sangat kita kenal, yaitu Edward Snowden yang sampai sekarang lari di Rusia dan kemudian terus menerus membuka, bahwa penyadapan oleh Amerika itu skandal besar. Nah kita sebelum terjadi skandal besar seperti itu sebaiknya kita melakukan penyelidikan, apa yang terjadi," kata dia.
Fahri menilai langkah mendorong penggunaan hak angket DPR untuk menyelidiki pemerintah sudah tepat. Dia berharap anggota fraksi lain di DPR mendukung wacana ini.
"Yang kita perlukan itu bukan sekedar proses hukumnya, tetapi investigasi. Seperti misalnya saya masih bertanya, bagaimana dulu Setnov (Novanto) disadap, iya kan. Karena kita harus verifikasi apakah penyadapan itu pakai HP, atau pakai alat yang dipasang di tempat lain, karena penyadapan sekarang itu dengan teknologi yang sangat luas sekali, dan itu harus kita lacak. Karena akhirnya apa, Indonesia ini bobol, rahasia negara itu bocor kemana-mana. Maka tidak ada lagi security, keamanan dalam negeri, pertahanan itu sudah tidak ada lagi," kata dia.
Fahri menyontohkan lagi kasus Yudhoyono yang disadap Australia.
Ketika ditanya, apakah percaya Yudhoyono disadap, menurut Fahri itulah pentingnya penelitian.
"Kalau saya mendengar pernyataan lawyer (Ahok), itu (percakapan) persis 10.16 itu, artinya dia tahu persis mengenai jamnya. Dan saya kira itu harus diteliti.
Fahri dapat memahami pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang membantah tidak penyadapan.
"Ya kalau pemerintah mungkin tidak mau repot, tapi kami di DPR atas nama rakyat kita harus tahu betul ini apa yang terjadi. Dan itu harus diangkat, harus dicari apa yang terjadi," kata Fahri.
Fahri mengatakan rangkaian faktanya bukan hanya dipersidangan Ahok pada Selasa (31/1/2017) lalu, tetapi banyak fakta lain yang telah terjadi.
"Seperti kasus Setnov. Saya agak takut ya, bahwa semua hasil penyadapan yang dihadirkan di dalam banyak ruang sidang sekarang ini didapatkan dengan cara yang tidak bertanggungjawab dan ilegal," kata dia.
Itu sebabnya, menurut Fahri penggunaan hak angket penting untuk dilakukan.
"Karena banyak ruang sidang dikotori oleh alat-alat bukti yang diperoleh secara ilegal. Kalau kita menyidang orang dengan dokumen, bahan ilegal, hasil curian, maka itu juga ilegal. Saya kira itu," kata dia.