Suara.com - Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Perusahaan Pers Dewan Pers Ratna Komala menegaskan tidak benar Dewan Pers melakukan pembredelan pers dengan gaya baru yaitu dengan hanya mengakui perusahaan media yang memiliki tanda barcode setelah lulus verifikasi.
"Kalau itu sudah hoax, Itu berarti nggak benar. Kalau benar, kan sudah ada eksekusi, ada penutupan media," kata Ratna kepada Suara.com, hari ini.
Menurut Ratna kalangan yang menuduh Dewan Pers melakukan pembredelan hanyalah mereka yang tidak suka.
"Itu orang-orang yang merasa tidak suka," katanya.
Ratna kemudian menyebutkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjadi pedoman kerja Dewan Pers.
"Di UU nomor 40, kan nggak ada otoritas membredel. Kan sekarang ini media bebas," kata Ratna.
Menurut Ratna sangat konyol kalau menuding Dewan Pers seakan-akan akan membawa negeri ini ke zaman Orde Baru.
"Kalau dewan pers dianggap membredel, konyol sekali. Tidak ada undang-undang yang mengaturnya dan apakah itu bisa? Apakah pernah dilakukan Dewan Pers. Kalau kami tutup media, hebat banget kami (Dewan Pers," kata dia. "Bredel itu kan berarti eksekusi dan menutup," katanya.
Tutup dan tidak tutupnya media ditentukan oleh media itu sendiri dan hanya media yang profesional yang bertahan.
"Sekarang dengan sendirinya, kalau media profesional, nggak bakal kolaps. Pasti dia akan berlangsung terus," kata dia.
Pada tahap awal program verifikasi oleh Dewan Pers terdapat 74 perusahaan pers yang dinyatakan telah terverifikasi dan akan menerima sertifikasi pada puncak perayaan Hari Pers Nasional, 8 Februari 2017 di Ambon.
Selain menerima sertifikasi perusahaan pers terverifikasi, ke 74 perusahaan pers tersebut akan menandatangani lembar Komitmen Ambon, sebagai kelanjutan dari ratifikasi Piagam Palembang.
Menurut Ratna ramainya isu pembredelan salah satunya berawal dari surat hoax yang menyebutkan Dewan Pers merekomendasikan kepada pemerintah dan TNI untuk tidak menerima media yang tak memiliki barcode Dewan Pers.
Padahal yang benar adalah proses verifikasi sekarang masih berlangsung. Sebanyak 74 media yang telah lolos merupakan tahap awal.
Ratna mengatakan AJI dan IJTI secara kelembagaan mendukung untuk aspek-aspek, seperti menegakkan etika.
"Tidak ada (protes). AJI, IJTI, tidak apa-apa kalau secara lembaga. Mereka setuju diminta untuk menegakkan etika, meningkatkan kesejahteraan wartawan dan lain-lain," katanya.
Ratna mendorong media yang belum terverifikasi untuk proaktif melengkapi persyaratan Dewan Pers.
"Ini bukan pembredelan, yang belum masuk nanti bisa melengkapi syarat. Ini kan baru kick off. Itu (74 media) yang ditagih (Dewan Pers karena 17 CEO-nya dulu kan ikut deklarasi piagam Palembang 2010. Mereka dulu janji tegakkan kode etik, dan lain-lain, janji sertifikasi dan lainnya," kata dia.