PBB: Militer Myanmar Bunuh dan Perkosa Muslim Rohingya

Ardi Mandiri Suara.Com
Sabtu, 04 Februari 2017 | 02:19 WIB
PBB: Militer Myanmar Bunuh dan Perkosa Muslim Rohingya
Solidaritas untuk Muslim Rohingya melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta, Jumat (25/11).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pasukan keamanan Myanmar melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap Muslim Rohingya serta membakar rumah-rumah mereka sejak Oktober, demikian pernyataan kantor Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss, Jumat.

Aksi-aksi pasukan keamanan itu merupakan kampanye yang berpotensi sama besar dengan kejahatan kemanusiaan dan pembersihan etnis.

Sejumlah saksi mata memberikan kesaksian mengenai pembunuhan sejumlah balita, anak-anak, perempuan, dan usia lanjut; melepaskan tembakan terhadap orang-orang yang melarikan diri, membakar seluruh wilayah desa, penahanan massal; perkosaan sistematis dan masif serta kekerasan seksual; penghancuran makanan dan sumber makanan yang disengaja, demikian laporan tersebut.

Seorang perempuan kepada para penyelidik PBB menuturkan bagaimana bayi lelakinya berusia delapan bulan digorok. Seorang lagi diperkosa oleh sejumlah tentara dan melihat anak gadisnya berusia lima tahun tewas saat dia berupaya menghentikan aksi beringas mereka.

"Kekejaman dahsyat terhadap anak-anak Rohingya menjadi tidak tertahankan," kata Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Zeid Ra'ad Al Hussein, dalam pernyataannya.

Sekitar 66 ribu orang melarikan diri dari wilayah utara negara bagian Rakhine yang dihuni mayoritas muslim itu ke Bangladesh sejak militer Myanmar melancarkan operasi keamanan sebagai tindak balasan atas serangan terhadap beberapa pos polisi perbatasan pada 9 Oktober 2016, demikian pernyataan PBB.

Kantor kemanusiaan PBB itu saat ini bahkan menyebutkan angka 69 ribu.

"Operasi pembersihan wilayah itu sepertinya mengakibatkan ratusan orang tewas, sebagian dari mereka ditembak melalui helikopter di beberapa desa dan pelemparan granat kepada mereka," demikian laporan PBB.

Empat orang penyelidik PBB mengumpulkan testimoni pada bulan lalu dari 220 korban dan saksi mata Rohingya yang melarikan diri dari area terkunci di Maungdaw, Rakhine, menuju Distrik Bazar, Cox, Bangladesh.

Hampir separuh dari mereka dilaporkan anggota keluarga tewas atau hilang, sedangkan 101 orang perempuan dilaporkan menjadi korban perkosaan atau sasaran kekerasan seksual, demikian laporan itu.

Para penyelidik mengambil barang bukti, termasuk foto-foto peluru dan pisau yang masih terdapat goresan bekas luka, kebakaran, dan beberapa korban luka akibat beberapa gagang senapan atau tongkat bambu.

Memburuknya etnis Rohingya yang tidak berkewarganegaraan, sekitar 1,1 juta di Rakhine hidup seperti kondisi apartheid, itu menjadi biang perpecahan antara Myanmar dan Bangladesh.

Pemerintah Meninjau Laporan Myanmar sebagai negara berpenduduk mayoritas Buddha yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi menyangkal semua tuduhan pelanggaran HAM di wilayah utara Rakhine dengan menyatakan bahwa upaya penanggulangan pemberontakan sedang berlangsung.

Di Yangon, juru bicara Presiden Htin Kyaw, Zaw Htay, menyatakan bahwa pemerintah belum melihat laporan PBB tersebut.

"Kami akan meninjau laporan PBB itu dan akan menanggapinya, bisa melalui pernyataan resmi atau tanggapan pribadi," kata Zaw Htay.

Pada saat menolak para penyelidik dan sejumlah wartawan independen untuk memasuki wilayah tersebut, para pejabat Myanmar menuduh warga Rohingya dan para pengungsi mengarang cerita pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan massal, dan pembakaran bekerja sama dengan para pemberontak yang mereka anggap sebagai teroris Rohingya berjaringan dengan ISIS di luar negeri.

Zein mendesak reaksi keras dari masyarakat internasional dan menyatakan bahwa pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat terhadap rakyatnya sendiri.

Laporan tersebut menyatakan bahwa serangan di Rohingya tampaknya meluas dan sistematis sebagai indikasi kejahatan kemanusiaan.

Bangladesh memastikan menempatkan umat Islam Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar itu ke sebuah pulau di Teluk Benggala, demikian kata seorang menteri Bangladesh, Rabu (1/2) lalu.

Para pengamat mengatakan pulau itu tidak layak huni. Namun menteri tersebut menyatakan bahwa penempatan itu bersifat sementara karena pada akhirnya Myanmar harus memulangkan kembali etnis Rohingya itu. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI