Suara.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah menyebut tidak perlu ada perbaikan sistem di Mahkamah Kehormatan. Dorongan perbaikan sistem MK ini sejalan dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi setelah ditangkapnya Hakim MK Patrialis Akbar atas kasus suap.
"Ini bukan soal sistem (yang buruk di MK), ini soal orang itu kalau diintip (penyadapan) pasti ketahuan," kata Fahri di DPR, Jakarta, Selasa (31/1/2017).
Patrialis ditangkap KPK karena dianggap menerima suap dalam perkara UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Menurut Fahri, ketika seseorang ditangkap KPK, tidak ada mekanisme atau prosedur untuk melakukan klarifikasi. Sehingga hal itu hanya bisa dijelaskan di persidangan.
"Supaya MK-nya tidak repot ya memang (Patrialis harus) mengundurkan diri. Karena nggak ada mekanisme lain. Karena juga kan mau melawan apa? Orang sudah ditangkap," tambahnya.
Baca Juga: Jokowi Akan Bentuk Pansel untuk Cari Pengganti Patrialis Akbar
Sistem di MK saat ini sudah cukup baik. Hal itu bisa diketahui sejak jaman Jimly Asshidiqie menjadi Ketua MK.
Fahri menyebut, sejak saat itu, lembaga tersebut menjadi salah satu lembaga paling transparan dan terbuka di Indonesia. MK, sambungnya, juga mendapatkan pujian sebagai salah satu institusi dengan keterbukaan informasi yang paling bnaik di Indonesia.
"Jadi sebenarnya nggak ada persoalan dengan sistem. Di Indonesia sekarang, korupsi tidak lagi dikaitkan dengan persoalan sistem, tapi dengan moralitas, dan moralitas ditentukan melalui penyadapan," kata Fahri.
Karenanya, dia menyayangkan KPK yang memiliki kewenangan penyadapan tidak berbatas. Apalagi, untuk kasus Patrialis, penyadapan KPK sudah dilakukan selama enam bulan terakhir.
Dengan kewenangan seperti itu, Fahri beranggapan, seluruh kegiatan orang yang disadap menjadi ketahuan, dan ketika diungkap ke publik hal itu akan membuat pengadilan moral yang luar biasa.
Baca Juga: Penampakan Pertama Istri dan Anak Patrialis Akbar di KPK
"Kalau begitu, maka ketahuan dia berhubungan dengan siapa? Punya simpanan atau tidak? Dia nyoba-nyoba narkoba atau tidak? Pergi main kmn bertemu siapa?" kata Fahri.
Karenanya dia menginginkan supaya penyadapan seperti ini untuk dibatasi. Menurutnya, jika semua orang disadap, sama dengan kemunduran dalam bernegara. Sebab, bernegara harus berdasarkan atas hal-hal yang terukur.
"Sedangkan soal moral orang peroang tidak perlu jadi urusan negara. Tapi sekarang ya ke arah sana, bernegara ini yang diadili, moral. Ini moral semua yang diadili," ujar Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.