AJI Jayapura Kritik Kemerdekaan Pers di Papua Masih Minim

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 30 Januari 2017 | 06:10 WIB
AJI Jayapura Kritik Kemerdekaan Pers di Papua Masih Minim
Sejumlah jurnalis menggelar aksi unjuk rasa menolak kekerasan di depan gedung Kemenko Polhukam, di Jakarta, Kamis (25/8). suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura mengkritik implementasi kemerdekaan pers bagi para jurnalis yang bertugas di Provinsi Papua maupun Papua Barat masih minim sepanjang tahun 2016.

"Dari data pelaporan yang diterima Divisi Advokasi AJI Jayapura terdapat 10 kasus yang menghambat kemerdekaan jurnalis dalam upaya menyampaikan informasi yang terpercaya dan berimbang bagi masyarakat Papua dan Papua Barat," kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Kota Jayapura Fabio Maria Lopes Costa, di Jayapura, Senin (30/1/2017).

Fabio merincikan kasus-kasus tersebut meliputi intervensi ketika wartawan melaksanakan peliputan, penghapusan foto dan video terkait liputan isu-isu sensitif seperti Gerakan Papua Merdeka, perusakan sarana untuk peliputan, pemukulan terkait peliputan kasus dalam persidangan, pelaporan ke pihak berwajib atas materi peliputan, pemukulan, dan pengusiran wartawan yang hendak mengkonfirmasi isu tertentu kepada narasumber.

Baca Juga: AJI Jayapura: Kebebasan Pers di Papua Barat Jangan Dikebiri

"Tercatat sebanyak 10 wartawan yang mendapatkan tindakan tersebut. Kasus-kasus ini terjadi di Kabupaten Timika, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Kota Jayapura, Kabupaten Nabire, Dogiyai, Manokwari, dan Sorong," ujarnya lagi.

Menurutnya, kasus pelanggaran kemerdekaan pers terbanyak berada di Kota Jayapura yakni tiga kasus, sedangkan di Wamena sebanyak dua kasus. Sedangkan pelanggaran kemerdekaan pers di lima daerah lainnya hanya satu kasus.

Berdasarkan laporan 10 jurnalis tersebut, tujuh kasus pelanggaran kemerdekaan pers terkait dengan aparat keamanan, dua kasus dengan pihak keamanan, dan satu kasus dengan anggota DPRD.

Kesimpulannya, kata Fabio, pelanggaran kemerdekaan pers di Papua teryata dilakukan oleh para pihak yang tergabung dalam tiga pilar demokrasi, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

"Seolah-olah peranan awak pers dianggap masih rendah, perlu 'didiamkan' dan diawasi secara ketat oleh oknum-oknum tertentu. Padahal, pers secara tidak langsung adalah pilar keempat dari demokrasi," ujarnya lagi.

Dia menegaskan, Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 telah hadir di Indonesia untuk menjamin kemerdekaan pers bagi para jurnalis dan media massa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI