"Saat diangkut, mereka dihimpit, namun tidak diberi air. Kulitnya hanya diolesi margarin atau sejenisnya dengan tujuan menjaga kelembapannya. Namun, itu justru bisa membuat kulitnya teriritasi," kata Maulana Malik.
Setelah tiba di tempat acara, lumba-lumba akan tinggal di kolam yang dangkal dan sempit. Kolam itu kedalamannya 3 meter dan diameternya 10 meter. Luas kolam itu tentu tidak sebanding dengan lautan, tempat alami lumba-lumba biasa menjelajah hingga 100 km sehari.
Menurut Maulana, kolam yang sempit itu menyakitkan lumba-lumba karena sonar, gelombang suara yang dikirimnya untuk mendeteksi obyek di sekelilingnya, kembali sangat cepat.
"Lumba-lumba menjadi pusing," katanya.
Air kolam sebagai tempat hidupnya juga dicampur dengan klorin atau garam yang bisa membutakan mata lumba-lumba.
"Agar lumba-lumba mau menurut apa kata instruktur atau pelatihnya, mereka dilatih dengan metode lapar. Mereka baru mendapat ikan makanannya bila sudah melakukan instruksi pelatihnya dengan benar. Begitu pula dalam pertunjukkan," jelas Husain.
Padahal, kata Husain, lumba-lumba termasuk hewan yang dilindungi Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati.
Husain juga mengutip penyataan IUCN (Interntional Union Conservation of Nature) yang melarang keras sirkus lumba-lumba karena di sirkus itu hewan tidak mendapat asupan gizi dan perawatan medis yang baik, berada dalam kualitas air yang tidak sehat, dan tidak diberikan perawatan yang tepat serta ruang gerak yang cukup.
"Itu membuat lumba-lumba stres dan cepat mati, dan pada gilirannya akan terus memicu penangkapan lumba-lumba di alam untuk sirkus semacam ini," kata Husain. (Antara)