Suara.com - Para warga Arab dan Iran, yang berencana melakukan perjalanan ke Amerika Serikat, menganggap larangan mendatangi AS terkait langkah kontraterorisme yang diterapkan pemerintahan Trump sebagai penghinaan dan praktik diskriminasi.
Penilaian itu muncul pada Sabtu (28/1/2017) ketika lima warga negara Irak dan satu warga Yaman dilarang naik ke pesawat menuju New York dari Kairo.
Di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang dikenai larangan, sejumlah orang yang berencana pergi ke Amerika Serikat untuk mengunjungi keluarga, melakukan perjalanan dinas atau mencari penghidupan baru yang jauh dari peperangan mengatakan mereka sudah tak sudi pergi ke AS.
"Tidak adil dan tidak benar menggambarkan begitu banyak orang Arab dan Muslim sebagai teroris," kata Najeed Haidari, seorang manager keamanan Yaman-Amerika pada sebuah perusahaan minyak di Yaman.
Haidari menyatakan pandangannya itu kepada Reuters setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk melarang selama empat bulan kedatangan para pengungsi.
Trump juga untuk sementara menghadang warga Suriah, negara yang tercabik perang, serta enam negara lainnya yang berpenduduk mayoritas Muslim untuk memasuki Amerika Serikat.
"Keputusan yang bodoh dan sangat buruk dan justru akan membuat warga Amerika lebih menderita dibandingkan kami ataupun yang lainnya, karena terlihat bahwa presiden ini tidak bisa mengatur rakyat, politik atau hubungan internasional," tambah Haidari.
Trump pada Jumat menandatangani perintah eksekutif untuk melarang kedatangan warga dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman untuk setidaknya 90 hari.
Trump, secara terpisah, mengatakan dirinya menginginkan Amerika Serikat memberi prioritas kepada para warga Suriah beragama Kristen yang mengungsikan diri dari peperangan di negara itu.
Baca Juga: Donald Trump akan Cabut Sanksi Terhadap Rusia
Larangan memasuki wilayah AS itu menimbulkan kekacauan dan kebingungan bagi para warga asing yang memegang paspor ketujuh negara tersebut.