Suara.com - Pascapenetapan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar menjadi tersangka kasus dugaan suap dalam penanganan pemohonan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, muncul dorongan untuk merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Dengan alasan untuk memperkuat sistem perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi.
Namun, menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Taufik Kurniawan, revisi sebanyak apapun, jika pribadi hakim memang buruk, tetaplah buruk. Menurut Taufik kontrol terbaik untuk mencegah pelanggaran adalah diri sendiri.
"Kalau menurut saya semua dikembalikan kepada niatan kita semua. dibuat UU-nya 100 kali revisi, ada tambahan-tambahan lembaga baru, yang bisa mengontrol kan diri kita sendiri. Ya mari kita perbaiki sama-sama. Kita harapkan ini jadi proses yang harus sama-sama kita introspeksi bersama," kata Taufik di DPR, Jakarta, Jumat (27/1/2017).
Tetapi bukan berarti Taufik menolak revisi UU demi meningkatkan pengawasan dan pengetatan seleksi calon hakim konstitusi.
Secara normatif, fungsi pengawasan, fungsi profesionalisme, dan ketaatan terhadap lembaga menjadi prioritas untuk bisa menjadi pegangan serta panduan dalam kaitannya menjalankan tugas.
"Ke depan kita tentukan, kita sesuaikan dengan mekanisme UU MK itu sendiri. Jadi istilahnya sekali lagi kita harap itu (suap hakim MK) tidak terjadi lagi," kata Politikus Partai Amanat Nasional.
Patrialis dibekuk KPK pada Rabu (25/1/2017) karena diduga menerima suap 20 ribu dollar AS dan 200 ribu dollar Singapura atau sekitar Rp2 miliar. Suap tersebut diduga untuk mempengaruhi putusan MK atas permohonan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Selain Patrialis, KPK juga menetapkan dan menahan tiga orang lainnya, termasuk pemberi suap.