Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Gerindra Muhammad Syafi'i menilai tidak ada yang perlu diungkap dari kasus pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Bantaran, Nasrudin Zulkarnain. Sebab, terpidana Antasari Azhar sudah meminta grasi kepada Presiden Joko Widodo dan sudah dikabulkan.
"Dia kan minta grasi, itu kan artinya dia mengaku bersalah. Kemudian mendapat grasi (dari Presiden). Makanya, dia mau ngomong apalagi? Dia minta grasi, mau bilang diproses lagi kan nggak benar juga," kata Romo kepada Suara.com, Jumat (27/1/2017).
Syafi'i menambahkan ketimbang berjuang untuk melanjutkan kasus tersebut, mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebaiknya fokus mendedikasikan ilmu dan pengalamannya untuk negara.
"Penegakan hukum di negeri ini amburadul karena di bawah pimpinan Presiden yang sontoloyo. Kenapa amburadul? karena penegakan hukum kita diskriminatif. Diskriminatif ini kan sama dengan amburadul," katanya.
"Ini kan amburadul, yang salah tidak disalahkan, yang belum tentu salah kemarin sudah ada yang disalahkan, yang sudah beberapa tahun ditahan kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah, yang tidak salah ditahan. Ini kan penegakan hukumnya amburadul, lalu presidennya diem saja. Sontoloyo, kan," Syafi'i menambahkan.
Usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, selama sekitar satu jam, Kamis (26/1/2017), Antasari merahasiakan hasil pembicaraan.
"Sejak kemarin dari pagi sampai malam saya meladeni rekan-rekan anda (wartawan), jadi saya batuk. Jadi sekarang ini... ssstt," kata Antasari.
Ketika diminta lagi untuk menceritakan poin-poin hasil percakapan dengan Kepala Negara, Antasari tetap tak mau membocorkan.
"Mau tahu saja," ujar dia.
Ketika ditanya apakah Antasari dilarang Presiden Jokowi untuk menyampaikan ke media mengenai hasil pembicaraan tadi dia mengatakan sedang batuk.
"Sstt... ini kan ngomong, lagi batuk," tutur dia.
Sebelum jumpa Presiden tadi, Antasari mengatakan salah satu tujuannya menemui Presiden untuk menyampaikan terimakasih atas grasi yang sudah dikabulkan.
"Ingin berterimakasih atas grasi yang sudah diberikan beliau. Itu saja," kata Antasari.
Presiden telah mengabulkan grasi yang diajukan terpidana kasus pembunuhan terhadap Direktur PT. Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, pada 16 Januari 2017,
Jokowi meneken keputusan Presiden yang berisi tentang pengurangan masa hukuman pidana dari 18 tahun menjadi 12 tahun. Selanjutnya, Keputusan tersebut dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (23/1/2017).
Selama ini, Antasari merasa menjadi korban kriminalisasi. Antasari merupakan ketua KPK yang diberhentikan pada tahun 2009 atau di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menganggap wajar agenda pertemuan antara Jokowi dan Antasari.
"Saya lihat pertemuan itu wajar saja. Karena Pak Antasari mantan pimpinan dari sebuah lembaga penegak hukum, dan kemudian dalam kasusnya itu ada sesuatu yang meninggalkan pertanyaan. Ya wajar dong kalau dia ingin bertemu dengan Presiden, dan Presiden mendengarkan, wajar aja dong," kata Arsul di DPR.
"Apalagi kalau beliau (Antasari) merasa sudah menjalani sebuah hukuman yang kasusnya, proses hukumnya, yang menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Wajar saja. Tidak hanya Pak Antasari, siapapun yang berada di posisi Antasari pasti juga minta hal yang sama," Arsul menambahkan.
Arsul mengatakan jangan memandang pertemuan tersebut hanya dari sudut pandang politik.
"Jangan ditafsirkan terlalu jauh, ada setting politik tertentu, nggaklah. Kalau ada setting politik dalam konteks pidana kan harus dibuktikan," kata dia.
"Dia kan minta grasi, itu kan artinya dia mengaku bersalah. Kemudian mendapat grasi (dari Presiden). Makanya, dia mau ngomong apalagi? Dia minta grasi, mau bilang diproses lagi kan nggak benar juga," kata Romo kepada Suara.com, Jumat (27/1/2017).
Syafi'i menambahkan ketimbang berjuang untuk melanjutkan kasus tersebut, mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebaiknya fokus mendedikasikan ilmu dan pengalamannya untuk negara.
"Penegakan hukum di negeri ini amburadul karena di bawah pimpinan Presiden yang sontoloyo. Kenapa amburadul? karena penegakan hukum kita diskriminatif. Diskriminatif ini kan sama dengan amburadul," katanya.
"Ini kan amburadul, yang salah tidak disalahkan, yang belum tentu salah kemarin sudah ada yang disalahkan, yang sudah beberapa tahun ditahan kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah, yang tidak salah ditahan. Ini kan penegakan hukumnya amburadul, lalu presidennya diem saja. Sontoloyo, kan," Syafi'i menambahkan.
Usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, selama sekitar satu jam, Kamis (26/1/2017), Antasari merahasiakan hasil pembicaraan.
"Sejak kemarin dari pagi sampai malam saya meladeni rekan-rekan anda (wartawan), jadi saya batuk. Jadi sekarang ini... ssstt," kata Antasari.
Ketika diminta lagi untuk menceritakan poin-poin hasil percakapan dengan Kepala Negara, Antasari tetap tak mau membocorkan.
"Mau tahu saja," ujar dia.
Ketika ditanya apakah Antasari dilarang Presiden Jokowi untuk menyampaikan ke media mengenai hasil pembicaraan tadi dia mengatakan sedang batuk.
"Sstt... ini kan ngomong, lagi batuk," tutur dia.
Sebelum jumpa Presiden tadi, Antasari mengatakan salah satu tujuannya menemui Presiden untuk menyampaikan terimakasih atas grasi yang sudah dikabulkan.
"Ingin berterimakasih atas grasi yang sudah diberikan beliau. Itu saja," kata Antasari.
Presiden telah mengabulkan grasi yang diajukan terpidana kasus pembunuhan terhadap Direktur PT. Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, pada 16 Januari 2017,
Jokowi meneken keputusan Presiden yang berisi tentang pengurangan masa hukuman pidana dari 18 tahun menjadi 12 tahun. Selanjutnya, Keputusan tersebut dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (23/1/2017).
Selama ini, Antasari merasa menjadi korban kriminalisasi. Antasari merupakan ketua KPK yang diberhentikan pada tahun 2009 atau di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menganggap wajar agenda pertemuan antara Jokowi dan Antasari.
"Saya lihat pertemuan itu wajar saja. Karena Pak Antasari mantan pimpinan dari sebuah lembaga penegak hukum, dan kemudian dalam kasusnya itu ada sesuatu yang meninggalkan pertanyaan. Ya wajar dong kalau dia ingin bertemu dengan Presiden, dan Presiden mendengarkan, wajar aja dong," kata Arsul di DPR.
"Apalagi kalau beliau (Antasari) merasa sudah menjalani sebuah hukuman yang kasusnya, proses hukumnya, yang menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Wajar saja. Tidak hanya Pak Antasari, siapapun yang berada di posisi Antasari pasti juga minta hal yang sama," Arsul menambahkan.
Arsul mengatakan jangan memandang pertemuan tersebut hanya dari sudut pandang politik.
"Jangan ditafsirkan terlalu jauh, ada setting politik tertentu, nggaklah. Kalau ada setting politik dalam konteks pidana kan harus dibuktikan," kata dia.