Patrialis Ditangkap KPK, Produk Kerja MK Juga Terdampak

Jum'at, 27 Januari 2017 | 11:10 WIB
Patrialis Ditangkap KPK, Produk Kerja MK Juga Terdampak
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar mengenakan baju tahanan setelah tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1). [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, resmi ditahan KPK terkait kasus suap dari pengusaha impor daging Basuki Hariman senilai 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp2,15 miliar, Jumat (27/1/2017).

Menanggapi hal itu, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan hal ini dapat berdampak pada produk kerja MK.

"Hakim MK adalah pejabat negara kelas negarawan. Seharusnya tidak memiliki interest apapun dalam bekerja kecuali mengawal konstitusi dan menjaga paham konstitusionalisme," kata Ismail kepada Suara.com, Jakarta, Jumat (27/1/2017).

Baca Juga: Basuki, Pengusaha Pemberi Suap 'Bela' Patrialis Akbar

Menurut Ismail, praktik suap yang diduga ditukar dengan putusan hakim konstitusi memiliki daya rusak yang lebih serius dibandingkan suap biasa.

Kata Ismail, kewenangan MK memutus konstitusionalitas sebuah norma dalam UU, yang merupakan produk kerja DPR dan Presiden, adalah kewenangan yang sangat besar dan memiliki daya ikat luar biasa.

"Putusan MK adalah erga omnes, berlaku bagi semua orang, meski sebuah norma UU hanya dipersoalkan oleh satu orang," ujar Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selain itu, lanjut Ismail, putusan MK juga, jika sebuah permohonan judicial review dikabulkan, berarti membatalkan produk kerja 550 anggota DPR dan presiden yang bersifat final and binding.

"Atas dasar kewenangannya yang sangat besar, maka dugaan memperdagangkan putusan, sebagaimana dipraktikkan oleh Patrialis, memiliki daya rusak luar biasa yang bisa mendelegitimasi banyak putusan MK dan kelembagaan MK," tutur Ismail.

Lebih lanjut, sebagai lembaga pengawal konstitusi yang berada di garis tepi untuk menjaga kualitas produk Undang-Undang dan mengadili sengketa antar lembaga negara, kata Ismail, maka prahara suap ini menuntut penyikapan serius dari berbagai pihak.

"Antara lain, KPK harus menelisik lebih mendalam potensi keterlibatan hakim lain dan staf di Kesekjenan MK, karena perkara korupsi biasanya tidak hanya melibatkan aktor yang tunggal," kata Ismail.

Kedua, kata dia, yaitu Dewan Etik MK, harus mengambil tindakan terhadap Patrialis sesuai mekanisme kerja Dewan Etik MK, sehingga memudahkan kerja KPK.

Ia melanjutkan, sejalan dengan agenda revisi UU MK, DPR dan Presiden juga perlu mengkaji dan mengatur lebih detail penguatan kelembagaan MK, khususnya perihal pengisian jabatan Hakim MK, pengawasan, standar calon hakim.

"Termasuk menyusun regulasi perihal manajemen peradilan MK yang kontributif pada pencegahan praktik korupsi," tutur Ismail.

Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa banyak pihak tidak merasa heran dengan peristiwa tersebut. Pasalnya, jika dilihat dari rekam jejak Patrialis, ia menjadi Hakim MK pada Juli 2013, tanpa melalui proses seleksi. Melainkan penunjukan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Patrialis menjadi hakim MK tanpa proses seleksi yang wajar, karena hanya ditunjuk oleh SBY tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang ditetapkan UU, setelah tergeser dari kursi Menteri Hukum dan HAM," kata Ismail.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI