Suara.com - Putri Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, tak bisa menerima begitu saja ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan makar gara-gara akan aksi bersama kawan-kawannya ke gedung DPR dan MPR pada 2 Desember 2016. Dia menolak dituduh ingin menggulingkan Presiden Joko Widodo.
"Sampai sekarang saya tetap menolak (dituduh melakukan makar)," kata Rachmawati di kediamannya, Jalan Jati Padang Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (5/1/2017).
Rachmawati membantah semua pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian tentang dirinya.
"Saya sudah mengatakan membantah keras tuduhan Kapolri, Kapolri katakan ada unsur makar, dan kami disebut demo bayaran," katanya.
Ketua Yayasan Pendidikan Sukarno kemudian menceritakan ketika dia diperiksa penyidik. Dia menyontohkan kejadian tahun 1998 ketika mahasiswa menurunkan Presiden Soeharto dengan mengepung gedung DPR. Jika dirinya dianggap makar, bagaimana dengan aksi para mahasiswa kala itu.
"Saya tanyakan kepada penyidik, kalau begitu konotasi makar itu, peristiwa mahasiswa gruduk gedung DPR Tahun 1998 itu, saya tanyakan balik, makar bukan itu, nggak ada jawaban. Saya tanyakan, kalau saya minta kita kembali ke UUD 45 asli, itu makar bukan?" kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Bidang Ideologi.
Rachmawati mengatakan aksinya hanya bertujuan untuk mendorong DPR dan MPR mengembalikan UUD 1945 ke naskah asli sebagai solusi untuk mengatasi masalah bangsa ini.
"Itu adalah solusi terbaik buat bangsa dan negara. Saya sudah sampaikan, ada problem setelah amandemen empat kali. Dari sosialisme, itu beruabah menjadi liberalisme kapitalisme, dan menurut teori akan melahirkan kesenjagan antara yang kaya dan miskin dan itu sudah terjadi. Dan ini akan menjadi lahan subur tumbuhnya komunisme," kata Rachmawati.
Rachmawati ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan makar bersama tujuh tokoh. Yakni mantan anggota staf ahli Panglima TNI Brigadir Jenderal (purn) Adityawarman Thaha, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (purn) Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Ketua Bidang Pengkajian Ideologi Partai Gerindra Eko Suryo Santjojo, aktivis Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein, dan tokoh buruh Alvin Indra Al Fariz.