Suara.com - Rohaniawan Franz Magnis Suseno mengatakan dalam bulan-bulan terakhir, persatuan bangsa Indonesia sedang berada pada situasi terancam. Jika tak segera disadari dan justru malah ditanggapi secara keliru, akan benar-benar membahayakan keutuhan negeri.
"Bahwa bahasa kita, dari kita bersama, menjadi bahasa kami dan mereka. Kalau hanya melihat kami dan mereka, yang dilihat hanya perbedaan, persaingan, gesekan dan sentimen," kata Magnis dalam sebuah diskusi refleksi akhir tahun 2016 bertajuk Tantangan Merawat Indonesia di aula Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2016).
Saat ini, kata Magnis, bangsa Indonesia ditantang untuk betul-betul menghayati persoalan secara bersama-sama.
Magnis bangga menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini, bangsa yang didirikan dengan tekad untuk bersatu dan saling menerima gagasan satu sama lain. Menurut pastur kelahiran Jerman itu, semangat yang dimiliki Indonesia jarang ditemui di negara lain.
"Sumpah Pemuda sudah hampir 90 tahun yang lalu merupakan suatu peristiwa yang luar biasa, tanpa sponsor, tanpa desakan, tanpa ada yang mendorong. Ratusan pemuda, jong Java, jong Ambon, jong Sumatera, jong Islam, berkumpul menyatakan tekad memperjuangkan satu tanah air, satu bangsa dalam satu bahasa persatuan Indonesia," ujar imam Katolik yang mengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Magnis menambahkan perbedaan etnis dan agama, saat itu sama sekali tidak menjadi sekat di antara para pemuda. Para pemuda saling menerima gagasan satu sama lain untuk melahirkan satu konsensus.
"Konsensus itu yang namanya Pancasila," kata Magnis.