Suara.com - Kekerasan dan diskriminasi atas nama agama terus terjadi di Indonesia. Keyakinan, suku, dan ras menjadi alat untuk kepentingan mendapatkan kekuasaan di Indonesia, terutama jelang pemilihan umum (Pemilu).
Mereka yang menjadi sasaran intoleransi adalah kelompok minoritas, di antaranya Ahmadiyah, Syiah, Tionghoa dan nasrani. Kelompok lebian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) pernah menjadi bulan-bulanan untuk dipersalahkan.
Bahkan sampai penghujung tahun 2016 ini, sentimen negatif terhadap warga keturunan Cina menguat. Kebencian disebar dengan dalih nasionalisme dan kepentingan kelompok radikal.
Salah satu lembaga yang beruang untuk keberagaman dan toleransi, Wahid Institute pernah memberikan hasil survei tentang potensi intoleransi dan radikalisme sosial keagamaan di kalangan muslim Indonesia. Hasilnya, Indonesia masih rawan terhadap intoleransi dan radikalisme.
Suara.com, menemui tokoh-tokoh untuk digali pemikirannya tentang keberagaman, toleransi dan perdamaian. Wawancara dengan mereka bertujuan untuk memberikan perspektif 'jalan tengah' agar pemikiran masyarakat 'clear' tentang sebuah peristiwa.
Berikut para tokoh tersebut:
1. Nazaruddin Umar
Di mata dunia, citra Islam masih belum pulih meski ulama toleran menegaskan agama Allah itu cinta damai dan menentang aksi terorisme. Makanya, Islam phobia masih muncul di beberapa negara, terutama negara barat.
Sementara di Indonesia, Islam masih ‘tercoreng’ dengan aksi-aksi kelompok radikal yang berkumpul membentuk organisasi kemasyarakatan. Tak sedikit dari mereka menguasai masjid dan menyebarkan paham radikal lewat ceramahnya.
Tak heran, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah menyebut banyak masjid di Jakarta yang menyebarkan paham intoleran. Imam Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar setuju dengan klaim BNPT.
Mantan Wakil Menteri Agama di bawah kepemimpinan Suryadharma Ali itu mengatakan Islam sesungguhnya mengajarkan toleransi terhadap semua hal. Dia menyebut, Islam itu moderat. Dia memaparkan 7 ciri alasan Islam sebagai agama moderat.
Dalam wawancara khusus dengan suara.com, Nasaruddin juga menyoroti soal masjid di Jakarta yang dinilai banyak menyebarkan paham radikal. Sebagai Imam Masjid Istiqlal, Nasaruddin punya solusi untuk menekan penyebaran radikalisme lewat masjid-masjid.
Profesor Nasaruddin Umar merupakan salah satu pendiri Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dia lahir di Ujung-Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959. Jabatan terakhir di pemerintahan, Nasaruddin pernah menjadi Wakil Menteri Agama Republik Indonesia selama 4 tahun. Sekarang Nasaruddin adalah Imam Besar Masjid Istiqlal.
Nasaruddin termasuk ulama yang toleran terhadap perkembangan teologi dunia. Pemikirannya memberikan solusi Islam yang damai tanpa terorisme. Nasaruddin Umar menamatkan studi pascasarjana di IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan mendapatkan gelar Magister (1992) serta doktoral (PhD) (1998). Selama studi kedoktorannya, dia sempat menjadi salah satu mahasiswa yang menjalani Program PhD di Universitas McGill, Montreal, Kanada (1993-1994). Nasaruddin juga sebagai salah satu mahasiswa yang menjalani Program Ph.D di Universitas Leiden, Belanda (1994-1995).
Setelah mendapatkan gelar doktoral, ia pernah menjadi sarjana tamu di Shopia University, Tokyo (2001), sarjana tamu di Saos University of London (2001-2002), dan sarjana tamu di Georgetown University, Washington DC (2003-2004). Dia adalah penulis dari 12 buku yang diantaranya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran. Isinya yang menjabarkan hasil penelitian mengenai bias gender dalam Quran.
Simak wawancara selengkapnya dengan Nazaruddin Umar di sini
2. Datuk Sweida Zulalhamsyah
Berkopiyah putih, Datuk Sweida Zulalhamsyah ramah menyapa suara.com di sebuah kedai kopi di kawasan Tebet. Tidak ada pengawalan, meski Mas Datuk keturunan raja.
Tidak ada raut wajah dan kosakata yang menandakan jika Datuk keturunan raja. Yang banyak diketahui dari komunitas Sekolah Kolese De Britto Yogyakarta, dia adalah sosok yang sangat toleran.
Ayah dua anak ini adalah alumnus Kolese De Britto Yogyakarta tahun 1973. Di tengah komunitas Katolik, Datuk tetap dengan ciri khasnya mengenakan pakaian serba putih, kopyah haji dan tasbih di lengan kanannya.
Seorang muslim yang bersekolah Katolik, memang banyak. Namun unik untuk seorang keturunan Kesultanan Deli di Sumatera Utara yang kental dengan lingkungan Islami. Kerajaan itu adalah kerajaan Islam besar. Bahkan lelaki kelahiran 5 Mei 1957 itu adalah muslim pertama yang pernah memimimpin ikatan alumni Ketua Umum Ikatan Alumni SMA Kolese de Britto sejak 2006 selama 2 periode sampai 2012.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ini keturunan dari suku kedatukan Sinembah, salah satu dari 4 kedatukan Deli yang masih bertahan di sana. Di antaranya Kedatukan Sepuluh Dua, Serbanyaman, Sinembah, dan Sukapiring.
“Kami mempunyai tanah di sana. Dan sampai sekarang masih ada kedatukan itu,” kata lelaki yang saat ini menjadi warga tetap Singapura itu saat berbincang santai belum lama ini.
“Kami pemilik tanah di Sumatera Timur di Kesultanan Deli. Tanahnya di Kota Medan. Seluruh (Kawasan bandara) Polonia itu milik kami. Itu sudah sah milik kami. Proses sudah 30 tahun, baru diakui dari pemerintah,” lanjutnya.
Belajar toleran dengan perbadaan suku, ras, agama dan golongan dia dapat dari sekolah Katolik. Bahkan dia sejak taman kanak-kanak ada di lingkungan Katolik. Bahkan sang ayah, Datuk Ahmad Syaifuddin merupakan hasil dari pendidikan Sekolah Katolik.
Sifat toleransi dia jalankan sampai saat ini. Bahkan pengusaha sebuah perusahaan investasi itu mempunyai berbagaimacam cerita unik. Teman-temannya di alumnus De Britto pernah mengadakan misa sebagai ‘selametan’ Datuk yang ingin naik haji. Bahkan Datuk sebagai tempat curhat teman-temannya yang menikah beda agama.
Simak wawancara selengkapnya dengan Haji Datuk di sini
3. Komaruddin Hidayat
Pelarangan pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ di Goethe Institute, Jalan Diponegoro, Jakarta, pertengahan Maret 2016 lalu menambah daftar sikap pemerintah yang kalah dengan keinginan kelompok radikal. Saat itu FPI meminta film itu tidak diputar. Polisi menuruti dan meminta penyedia tempat pemutaran agar tidak memberikan izin.
Sebelum itu, polisi juga memaksa Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat juga tidak digelar. Alasannya ada organisasi masyarakat yang menolak festival yang membahas sejarah gerakan kiri Indonesia tersebut.
Hal serupa juga terjadi di Bandung. FPI melakukan tekanan terhadap pertunjukan monolog ‘Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah’ di Gedung Institut Francais Indonesia, Bandung, Jawa Barat. Monolog itu pun dibatalkan karena FPI menyerang dan memaksa pertunjukan dibubarkan.
Pelarangan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah pun masih berlanjut. Terakhir larangan eksistensi Ahmadiyah di Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Mereka diusir oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Polisi pun membiarkan pengusiran terjadi. Kejadian ini rutin terjadi dengan modus dan alasan yang sama. Polisi pun selalu membiarkan kelompok minoritas menjadi korban.
Padahal Indonesia disebut sebagai negara yang mempunyai berbagaimacam suku dan agama. Bahkan Indonesia pernah disebut sebagai negara paling toleran dan menghargai perbedaan.
Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat pun mengakui jika Indonesia negara yang plural. Masyarakat aslinya menghargai perbedaan suku, ras, dan agama. Namun klaim itu sudah berubah saat ini.
Menurut dia, Indonesia menjadi negara yang dihantui sikap radikal warganya. Buktinya banyak pengekangan kebebasan ekspresi, berkeyakinan dan berpendapat oleh kelompok yang mengatasnamakan agama. Tapi menurutnya itu ‘normal’ sebagai negara demokrasi.
Tapi dia memberikan catatan agar Indonesia waspada serangan ‘radikalisme’. Pemerintah harus lebih siap menghadapinya.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953. Dia merupakan mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 2006 sampai 2015. Pemikiran-pemikirannya soal toleransi dan sosial banyak dimuat di media massa.
Komarudin besari di lingkungan pesantren. Dia merupakan alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana lengkap di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta.
Lalu dia melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990). Dia juga menyelesaikan Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Connecticut, AS, selama satu semester (1997). Selain itu dia menyelesaikan International Visitor Program (IVP) ke AS (2002).
Simak wawancara selengkapnya dengan Komaruddin Hidayat di sini
4. Jan S. Aritonang
Tindakan intoleransi menjelang akhir tahun 2016 terus meningkat. Puncaknya, pembubaran paksa acara Kebaktian Kebangunan Rohani Natal di Gedung Sabuga Institut Teknologi Bandung, Selasa (6/12/2016) oleh kelompok mengatasnamakan ormas Islam.
Setelah itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluarkan fatwa kontroversi. Mereka melarang umat Islam mengenakan atribut keagamaan lain. Fatwa itu dikeluarkan menjelang Natal.
Fatwa MUI itu disikapi oleh Kepala Kepolisian Indonesia Tito Karnavian sampai Presiden Joko Widodo. Keduanya mengimbau MUI tidak mengeluarkan fatwa yang memicu perpecahan. Namun MUI pernah juga mengeluarkan fatwa yang menyinggung urusan agama lain di tahun 1981. MUI mengharamkan umat Islam mengucapkan Natal.
Pendeta sekaligus ilmuan teologi sejarah Kristen, Jan Sihar Aritonang protes secara terbuka dengan fatwa MUI itu. Profesor di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta itu tersinggung lantaran fatwa dikeluarkan jelang Natal. Imbasnya, banyak kelompok radikal memaksa pusat pembelanjaan melepas atribut Natal. Bahkan mucul viral di media sosial soal larangan menggunakan topi Santa Claus.
Profesor yang aktif terlibat di isu perdamaian dan toleransi ini banyak mengulas soal sejarah Kristen dan Islam. Salah satunya dia tuliskan dalam buku ‘Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia’. Dalam buku itu, Jan banyak mengulas soal konflik berlatar agama di masa lalu.
Maka itu, Jan tidak kaget dengan konflik berlatar SARA yang belakangan terjadi. Kata dia, bukan hanya alasan politik, itu agama ‘dimainkan’. Konflik SARA saat ini pun tidak semenakutkan di era orde baru, bahkan sampai terjadi pembunuhan.
Jan pun bercerita, tokoh agama sudah berkali-kali bertemu untuk menyelesaikan masalah konflik berbalut SARA. Namun banyak yang tidak menemui jalan tengah. Namun Jan berharap pembahasan perdamaian di Indonesia tidak terhenti saat isu SARA sudah tidak kembali menguat.
Pdt. Prof. Jan Sihar Aritonang, Ph.D. merupakan Guru Besar bidang Sejarah Gereja. Ia mengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Selain jadi ilmuwan, Jan juga pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia atau yang dikenal dengan GKPI. Selama menjadi teolog, Jan banyak menuangkan pemikirannya tentang isu beragaman dari sisi sejarah Kristen.
Jan menamatkan Sarjana Teologi (S.Th.) dariSekolah Tinggi Teologi Jakarta (1976), lalu gelar masternya didapat di tempat yang sama tahun 1980. Jan pun melanjutkan gelar doktornya di South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), Singapura 8 tahun kemudian. Tahun 2000 Jan kembali mendapatkan gelar doktor dari Utrecht University, the Netherlands.
Jan lahir di Sibolga, 22 Januari 1952. Minatnya terhadap sejarah menyebabkan ia melakukan berbagai penelitian terkait sejarah gereja. Beberapa di antaranya adalah Sejarah Gereja Baru (Pentakostal dan Injili) di Indonesia, Sejarah Gerakan Ekumene di Indonesia, dan juga Sejarah Kekristenan dalam Indonesia Merdeka (1945-2004).
Selain menjadi pendeta GKPI, Jan juga mengepalai Pusat Dokumentasi Sejarah Gereja Indonesia (PDSGI) sejak tahun 2004. Pada tahun 1995-1999 dan 2007-2011 Jan Sihar Aritonang menjabat sebagai Ketua STT Jakarta. Ia juga menjadi pernah menjadi konsultan penerbit buku BPK “Gunung Mulia” sejak tahun 1989-1995. Selain itu, Jan Sihar Aritonang juga aktif dalam beberapa organisasi gerejawi, baik dalam maupun luar negeri.
Beberapa karya tulis Jan Sihar Aritonang yang telah dipublikasikan antara lain: ‘Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia’ tahun 2004. Buku ini fenomenal dan menjadi bacaan wajib di beberapa universitas Islam. Salah satunya di Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu dia juga menulis ‘Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja’, ‘Mission Schools in Batak land – Indonesia’, ‘Apa dan Bagaimana Gereja?’, dan ‘Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak’.
Saat ini Jan sering terlibat dalam pembahasan resolusi konfik.
Simak wawancara selengkapnya dengan Jan Aritonang di sini
5. Abdul Basit
Ahmadiyah, salah satu minoritas di Indonesia yang paling banyak mendapatkan intimidasi. Pengikutnya terus diusir karena dianggap berbeda dari ajaran Islam.
Intimidasi terhadap Ahmadiyah yang paling parah terjadi di sebuah pagi pada 6 Februari 2011. Saat itu kelompok intoleran menyerang warga Ahmadiyah di Desa Cikeusik, Pandeglang, Banten. Akibat penyerangan ini, tiga orang tewas mengenaskan.
Belum lagi nasib Jemaat Ahmadiyah yang ada di Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat yang tidak jelas. Mereka mengungsi karena terusir dari tempat tinggalnya.
Setelah itu, intimidasi atas nama agama terus dialami Jemaat Ahmadiyah. Anak-anak dan perempuan menjadi koran. Di Cianjur, Jawa Barat, anak dari warga Ahmadiyah hidup dalam ketakutan karena ancaman di sekolah.
Negara dianggap diam karena diskriminasi dan intimidasi terus terjadi.
Tahun 2016 ini, Ahmadiyah merayakan Khilafat ke 108 Tahun. Pada 27 Mei 1908 adalah hari bersejarah berdirinya khilafat Islam Ahmadiyah. Sudah 127 tahun, ajaran Ahmadiyah menyebar di dunia. Termasuk di Indonesia. Di Indonesia, Ahmadiyah sudah 91 tahun berdiri.
Sampai saat ini penganut Ahmadiyah sudah ada di 207 negara. Jumlahnya jutaan, khusus di Indonesia jumlah jemaat Ahmadiyah mencapai ribuan. Tak ada angka pasti, kata Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Abdul Basit.
“Belum lagi yang tidak menunjukan identitas dan simpatisan, jumlahnya banyak sekali,” kata Abdul Basit.
Suara.com menemui Abdul Basit secara khusus di Kampus Khusus Mubaligh Ahmadiyah di Parung, Bogor, Jawa Barat. Panjang lebar, lelaki yang selalu berkopiyah itu bercerita soal keadan terakhir jemaat Ahmadiyah Indonesia di tengah intimidasi yang terjadi.
Abdul Basit pun menekankan jika Ahmadiyah mengajarkan Islam yang sopan, indah dan toleran. Diskriminasi dan intimidasi yang dialami jemaatnya justru menguatkan organisasi yang dia pimpin. Dia mengklaim jumlah pengikut Ahmadiyah terus bertambah.
“Jadi tidak semuaya orang anti dan benci Ahmadiyah,” klaimnya.
Abdul Basit mengajak umat beragama di Indonesia menjunjung tinggi toleransi dan perbedaan. Menurutnya, Islam tidak mengajarkan kekerasan.
Abdul Basit sudah 15 tahun menjadi Amir Nasional Ahmadiyah di Indonesia. Ayahnya juga sebagai pendiri Ahmadiyah Indonesia. Dia menyelesaikan pendidikan setingkat master di Sekolah Tinggi Agama Islam di Pakistan. Dia mendalami pendidikan mubaligh Ahmadiyah di sana. Selepas kuliah 7 tahun, dia diitempatkan di Aceh dan Sumatera Utara. Basit juga berpengalaman betugas sebagai mubaligh di Thailand dan Malaysia. Selama 12 tahun lebih menjadi mubaligh di negeri orang, kemudian Basit dikirim ke Ahmadiyah pusat di London. Barulah tahun 2001 dia kembali ke Indonesia dan memimpin organisasi keagamaan tersebut.
Simak wawancara selengkapnya dengan Abdul Basit di sini