5 Tokoh Toleran dan Pemikirannya tentang Perdamaian Tahun 2016

Rabu, 28 Desember 2016 | 10:03 WIB
5 Tokoh Toleran dan Pemikirannya tentang Perdamaian Tahun 2016
Ilustrasi toleransi beragama. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

3. Komaruddin Hidayat

Pelarangan pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ di Goethe Institute, Jalan Diponegoro, Jakarta, pertengahan Maret 2016 lalu menambah daftar sikap pemerintah yang kalah dengan keinginan kelompok radikal. Saat itu FPI meminta film itu tidak diputar. Polisi menuruti dan meminta penyedia tempat pemutaran agar tidak memberikan izin.

Sebelum itu, polisi juga memaksa Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat juga tidak digelar. Alasannya ada organisasi masyarakat yang menolak festival yang membahas sejarah gerakan kiri Indonesia tersebut.

Hal serupa juga terjadi di Bandung. FPI melakukan tekanan terhadap pertunjukan monolog ‘Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah’ di Gedung Institut Francais Indonesia, Bandung, Jawa Barat. Monolog itu pun dibatalkan karena FPI menyerang dan memaksa pertunjukan dibubarkan.

Pelarangan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah pun masih berlanjut. Terakhir larangan eksistensi Ahmadiyah di Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Mereka diusir oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Polisi pun membiarkan pengusiran terjadi. Kejadian ini rutin terjadi dengan modus dan alasan yang sama. Polisi pun selalu membiarkan kelompok minoritas menjadi korban.

Padahal Indonesia disebut sebagai negara yang mempunyai berbagaimacam suku dan agama. Bahkan Indonesia pernah disebut sebagai negara paling toleran dan menghargai perbedaan.

Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat pun mengakui jika Indonesia negara yang plural. Masyarakat aslinya menghargai perbedaan suku, ras, dan agama. Namun klaim itu sudah berubah saat ini.

Menurut dia, Indonesia menjadi negara yang dihantui sikap radikal warganya. Buktinya banyak pengekangan kebebasan ekspresi, berkeyakinan dan berpendapat oleh kelompok yang mengatasnamakan agama. Tapi menurutnya itu ‘normal’ sebagai negara demokrasi.

Tapi dia memberikan catatan agar Indonesia waspada serangan ‘radikalisme’. Pemerintah harus lebih siap menghadapinya.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat lahir di Magelang, Jawa Tengah, 18 Oktober 1953. Dia merupakan mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 2006 sampai 2015. Pemikiran-pemikirannya soal toleransi dan sosial banyak dimuat di media massa.

Komarudin besari di lingkungan pesantren. Dia merupakan alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana lengkap di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta.

Lalu dia melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990). Dia juga menyelesaikan Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Connecticut, AS, selama satu semester (1997). Selain itu dia menyelesaikan International Visitor Program (IVP) ke AS (2002).

Simak wawancara selengkapnya dengan Komaruddin Hidayat di sini

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI