Suara.com - Sepanjang 2016, Suara.com bertemu dengan ilmuwan lokal yang menunjukan prestasinya di kancah internasional. Mereka sekolah tinggi sampai mendapatkan gelar doktor, bahkan dinobatkan sebagai profesor.
Banyak cerita dari A sampai Z usaha mereka membuat terobosan dan penemuan. Tapi tidak sedikit dari mereka yang kecewa dengan pemerintah karena tidak bisa memerikan fasilitas dan pembiayaan untuk riset.
Bahkan ada juga yang ilmunya tidak terpakai di negeri sendiri, dan harus 'lari' ke negeri orang untuk berkarya. Di balik kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintah, kelima ilmuwan ini masih cinta dan ingin berbuat sesuatu untuk negaranya.
Siapa saja mereka? Berikut ulasannya:
1. Raymond Tjandrawinata
Tak terelakan, Indonesia merupakan negara kaya sumber daya alam hayati. Catatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOPM), Indonesia mempunyai lebih dari 30.000 jenis tumbuh-tumbuhan. Sebanyak 7.500 jenis di antaranya termasuk tanaman berkhasiat obat.
Hutan Indonesia menjadi habitat 30.000 dari 40.000 jenis tumbuhan obat di dunia. Sebanyak 90 persen dari tumbuhan obat dunia terdapat di wilayah Asia.
‘Silau’ dengan potensi itu, Raymond Rubianto Tjandrawinata, PhD, MS, MBA, FRSC pulang ke Indonesia setelah belasan tahun sekolah di Amerika Serikat belajar biologi molekuler sampai S3. Di Amerika, Raymond sudah bekerja sebagai peneliti di perusahaan farmasi bergengsi.
Sejak tahun 2000, Profesor kelahiran Bandung 54 tahun lalu ini fokus menciptakan obat baru dengan bahan dasar tanaman herbal, bahkan binatang pun dijadikan obat. Tak heran, Raymond mendapatkan penghargaan bergengsi Habibie Award 2016 untuk bidang ilmu kedokteran dan bioteknologi. Dia dinilai berdedikasi dalam pengembangan obat-obatan Indonesia.
Suara.com menemui Raymond di kantornya di Kawasan Bintaro, Tangerang, Banten. Dia banyak bercerita perjalanan hidupnya sampai kegelisahannya tentang riset obat-obatan herbal.
Raymond menemui banyak tantangan bekerja di industri obat swasta. Mulai dari riset sampai ke penjualan obat. Menurut dia, pemerintah kurang mendukung pengembangan obat-obatan herbal.
Raymond menghabiskan pendidikannya di Amerika Serikat dengan memulai kuliah jurusan fisika dan biologi di University of the Pacific, Stockton. Kemudian dia kuliah master dengan studi Molecular Biology di University of California, Riverside.
Masih di kampus yang sama, Raymond meneruskan kuliah dengan mengambil gelar doktor Philosophy in Biochemistry. Lalu dia mengambil penelitian Postdoctoral di studi Molecular Pharmacology di kampus yang sama.
Saat ini Raymond menjabat sebagai Direktur Pengembangan di PT Dexa Medica. Selain itu Raymond juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif di Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences.
Di juga aktif menjadi pengajar di beberapa kampus. Di antaranya dosen di Fakultas Biotechnology di Universitas Katolik Atma Jaya, Advisory Council Member di Harvard Business Review, Global Board Member of Academic Advisor di American Academy of Financial Management, dan Advisory Council Member di International Management Consultants Board.
Sementara awal kariernya di Amerika Serikat, Raymond pernah menjadi Regional Medical Associate - Northern California SmithKline Beecham Pharmaceuticals.
Sepanjang kariernya sebagai peneliti, dia sudah mendapatkan berbagai penghargaan. Penghargaan pertama yang di dapat tahun 1980-an di kampus. Di antaranya Student Adviser Award di University of the Pacific. Raymond juga pernah mendapatkan penghargaan initernasional dari Jacksonville New York. Di Indonesia, dia mendapatkan penghargaan Future Business Leader Award, Swa Magazine. Terakhir, pekan lalu Raymond mendapat penghargaan Habibie Award 2016.
Raymond pun aktif menerbitkan jurnal ilmiah. Tercatat 100 lebih jurnal ilmiah yang sudah dia terbitkan. Raymond pun memegang 20 hak paten.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Raymond. Klik di sini
2. Tjia May On
Tahun 1965 terjadi pemunuhan massal kepada orang-orang yang dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembunuhan ribuan orang itu terdengar sampai Amerika Serikat.
Surat kabar dan majalah di sana menampilkan foto-foto pembunuhan antara warga sipil. Berita itu sampai ke Northwestern University, Amerika Serikat. Tjia May On, sebagai orang Indonesia, ditanya soal pembunuhan itu.
Tjia May On baru lulus sebagai mahasiswa S3 jurusan fisika partikel di sana. MO Tjia meyakinkan ke teman-temannya dan profesor pembimbingnya jika Institut Teknologi Bandung (ITB), tempat dia bekerja aman-aman saja.
Saat itu M.O Tjia ditawarkan untuk melanjutkan pendidikan post doctor di sana. Tawaran itu hanya untuk orang-orang terpilih dan jenius. Namun Tjia menolak, dia bela-bela pulang ke Indonesia di tengah situasi negara yang mencekam.
Namun sepulangnya, fisika partikel yang dipelajari Tjia tidak terpakai. Indonesia tidak mampu membiayai penelitian sekelas fisika partikel. Puluhan tahun setelah itu, sampai saat ini Indonesia pun belum mampu memfasilitasi kejeniusan Tjia.
Penelitian yang dilakukan Tjia, seperti yang dilakukan Newton. Tjia meneliti bagian sangat kecil di alam semesta. Saat ini Tjia sudah pensiun menjadi profesor dan pengajar di ITB, namun dia masih aktif menulis dan membantu mahasiswa fisika ITB. Sejak pensiun, di 2005, dia sudah menerbitkan puluhan penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah internasional.
Ditemui suara.com di sebuah ruangan dekat laboratorium eksperimen ITB, Bandung, Tjia sibuk membimbing penelitian fisika.
“Anda duduk dulu saja, minum air putih itu,” kata Tjia yang tampak sibuk melihat lembar demi lembar gambar grafik.
Baru-baru ini Tjia mendapatkan penghargaan LIPI Sarwono Award 2016. Dia Tjia menceritakan kisahnya menjadi peneliti fisika yang aktif di lembaga penelitian internasional. Dia juga sering terlibat bersama fisikawan dunia untuk meneliti. Di masa tuanya itu, Tjia pun mengungkapkan kekecewaannya dengan Indonesia.
MO Tjia, begitu panggilannya, menamatkan sarjana fisika di ITB tahun 1962. Lalu dia melanjutkan kuliah master dan doktor di Northwestern University, Amerika Serikat, dan rampung tahun 1969 mendapatkan gelar Ph.D.
Tjia merupakan salah satu di antara sedikit fisikawan Indonesia yang pakar di bidang fisika partikel. Kecerdasannya saat ini bisa disejajarkan dengan Newton yang juga meneliti fisika partikel.
Dia telah menerbitkan dua buku teks dan lebih dari 200 penelitian. Peelitiannya itu di dipublikasikan di jurnal internasional Physical Review, Nuclear Physics, Physica C, International Journal of Quantum Chemistry, Review of Laser Engineering, dan Journal of Non-linear Optical Physics. Semua jurnal ilmiah kelas dunia.
Salah satu penelitiannya yang bergengsi di bidang fisika partikel adalah risetnya bersama fisikawan CH Albright dan LS Liu berjudul "Quark Model Approach in the Semileptonic Reaction". Hasil penelitian itu banyak menjadi rujukan peneliti fisika dunia.
Tjia pun pernah aktif meneliti di lembaga riset dunia, International Center of Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia. Lembaga riset ini didirikan fisikawan peraih Nobel asal Pakistan, Abdus Salam.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Tjia. Klik di sini
3. Nurul Taufiqu Rochman
Nurul Taufiqu Rochman, salah satu ilmuan di Indonesia yang paling hebat. Hebatnya, bukan hanya banyak temuannya di bidang teknologi nano. Nurul pun bukan ilmuan biasa, dia mewujudkan hasil temuan dan risetnya ke dunia swasta. Sehingga Nurul bisa jadi salah satu ilmuan terkaya di Indonesia.
Kiprah Nurul dimulai dari negeri Sakura, Jepang. Setelah 14 tahun di sana, dia kembali ke Indonesia dan bekerja di Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sepulangnya ke Indonesia, dia berusaha membangun ‘bengkel’nya untuk riset nano.
“Peneliti di Indonesia cuma dapat meja dan kursi. Peralatan riset, saya yang bangun,” kata profesor teknologi nano itu.
Nurul pun mulai mengumpulkan alat-alat penelitian high energy milling untuk meneliti nano partikel. Nurul mulai ‘bermain’.
Sampai saat ini puluhan paten dia pegang melalui perusahaan riset nanonya, Nanotech Indonesia. Dia pun mendirikan perusahaan yang membawahi 4 perusahaan lain dengan nilai aset puluhan miliar.
Sampai saat ini temuan riset nano-nya sudah digunakan berbagai industri, mulai dari material sampai kosmetik. Nurul punya anggapan, statusnya sebagai peneliti negara tak menghalanginya untuk menjadi pengusaha sebuah perusahaan teknologi.
Prof. Dr. Nurul Taufiqu Rochman, B.Eng., M.Eng lulus dari Kagoshima University, Jepang untuk S1, S2, S3 dalam bidang Ilmu Material dan Rekayasa Produksi. Setelah lulus SMA, dia sempat kuliah di ITB jurusan teknik industri selama sembilan bulan. Tapi, dia beruntung mendapatkan kesempatan mengikuti program BJ Habibie yang bernama STMPD II (Science and Technology Man Power Development Program) untuk sekolah di Jepang. Tahun 1990 dia kemudian berangkat ke Negeri Sakura.
Tahun 2000, dia bekerja di Industri Jepang sebagai konsultan R & D selama 1 tahun dan Pusat Penelitian Daerah sebagai peneliti istimewa selama 3 tahun.
Nurul Telah mempublikasikan 12 Paten, dua di antaranya terpilih dalam buku 100 Inovasi Indonesia dan Hak Cipta (di antaranya 1 Paten Jepang yang telah di-granted dan diterapkan di Perusahaan Kyushu Tabuchi sejak 2003). Nurul pun mengeluarkan lebih dari 100 publikasi dan pemakalah internasional dan 180 publikasi dan pemakalah nasional.
Dia pernah mendapat penghargaan Hatakeyama Award sebagai mahasiswa terbaik dan Fuji Sankei Award sebagai peneliti terbaik tahun 1995. Setelah pulang, pada 2004 mendapat penghargaan dari LIPI sebagai Peneliti Muda Terbaik dan Penghargaan dari Persatuan Insinyur Indonesia (Adhidarma Profesi) tahun 2005 dan The Best Innovation and Idea Award dari Majalah SWA.
Nurul pernah menjadi delegasi Indonesia untuk menghadiri pertemuan Pemenang Nobel di Lindau Jerman tahun 2005. Tahun 2009 memperoleh perhargaan ITSF-Science and Technology Award dari Industri Toray Indonesia sebagai Outstanding Scientist dan Ganesha Widya Adiutama dari ITB pada Dies Natalis ke-50 serta menerima Habibie Award di bidang Ilmu Rekayasa 11 November 2009. Kini menjabat sebagai ketua Masyarakat Nano Indonesia sejak 2005.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Nurul. Klik di sini
4. Warsito Taruno
Tidak banyak peneliti seperti Warsito Purwo Taruno. Lelaki kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah itu masih akif sebagai penemu sebagai alat-alat canggih di Indonesia tanpa bantuan dari uang negara sepeser pun.
Sejak berkuliah S2 di Shizouka University Jepang, Warsito sudah menghasilkan sedikitnya 7 penemuan di bidang fisika dan kimia sampai saat ini. Sementara ada 100 lebih publikasi penelitian di tingkat internasional.
Selama 12 tahun di Jepang dan 6 tahun di Amerika Serikat, tidak membuat Warsito lupa dengan Indonesia. Dia rela kembali ke Indonesia dan meniti karier sebagai peneliti dari nol. Dia memutuskan untuk menjadi peneliti swasta yang membangun perusahaan riset.
Warsito ingin berbebas berinovasi dan mengembangkan ciptaannya dengan modal sendiri. Dia juga mendapat bantuan dari swasta dan bantuan dari Ohio State University, Amerika Serikat. Warsito menghitung, jika menjadi peneliti di lembaga negara, dia tidak akan bebas menghasilkan penemuan-penemuan.
"Kebebasan, untuk peneliti itu adalah mutlak. Kebebasan berpikir. Makanya saya berpikir tempatnya itu di swasta," kata ayah 4 anak yang tinggal menetap di Kota Tangerang, Banten itu.
Salah satu penemuan terbesar Warsito adalah alat pembasmi sel kanker yang menjamin tingkat survival hampir 80 persen. Artinya tingkat harapan hidup penderita kanker hingga 80 persen. Itu sudah digunakan kepada 10 ribu pasiennya di Center for Tomography Research Laboratory (CTECH Labs) EdWar Technology, perusahaan riset yang dia dirikan sejak 2004 lalu.
Warsito Purwo Taruno lahir di Karanganyar, 15 Mei 1967. Dia awalnya kuliah di Fakultas Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun dia mendapatkan beasiswa di Tokyo International Japanese School. Setelah itu, Warsito melanjutkan studi S2 di Shizouka University jurusan Chemical Engineering. Warsito mendapatkan gelar Ph.D Electronic Science and Technology dari universitas yang sama.
Kerja kerasanya selama puluhan tahun membuat Warsito meraih banyak penghargaan nasional dan internasional. Di antaranya Anugerah dari American Institute of Chemist Foundation Outstanding Post-doctoral Award tahun 2002. Warsito juga lulusan terbaik bidang kimia di Universitas Shizouka. Warsito disejajarkan dengan 16 ilmuwan Indonesia yang diberi kesempatan unjuk gigi di depan Douglas D. Osheroff, peraih Nobel Fisika 1996 yang berkunjung ke Indonesia.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Warsito. Klik di sini
5. Yohanes Surya
Di tahun 1999, Indonesia mendapatkan medali emas di ajang olimpiade fisika di Universitas Padua, Italia. Di tempat itu, fisikawan besar Galileo Galilei pernah mengajar dan mengembangkan fisika lebih dari 400 tahun yang lalu.
Kala itu anak bangsa yang mendapatkan medali emas adalah Made Agus Wirawan, siswa SMUN 1 Bangli. Dia anak dari desa di Bangli, Bali. Agus anak seorang pemahat. Saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah ada siswa Indonesia naik ke panggung menerima medali emas di Olimpiade Fisika Internasional.
Sosok yang ada di belakang kemenangan itu adalah Yohanes Surya. Saat itu dia menjadi pelatih Agus. Sejak itu, Indonesia percaya diri untuk terus mengirimkan kontingennya ke berbagai olimpiade fisika dan matematika internasional.
Ditemui suara.com di ruang kerjanya di Universitas Surya, Serpong, Tangerang, Yohanes masih gagah dan segar di usianya yang sudah menginjak 53 tahun. Tercatat sudah 100 medali emas yang didapatkan anak didiknya dari olimpiade fisika dan matematika internasional. Sebanyak 200 anak yang sudah dia ‘orbitkan’.
Doktor College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat ini sejak lulus dari Universitas Indonesia sebagai sarjana fisika memang sudah terjun di dunia pendidikan. Bahkan Dia rela pulang ke Indonesia untuk melatih anak-anak berbakat untuk mengikuti ajang olimpiade fisika dan matematika.
Universitas yang didirikan Yohanes diklaim sebagai kampus berbasis riset pertama di dunia. Dia memberikan beasiswa hampir dari setengah mahasiswanya sejak tahun 2013. Nantinya, kampusnya akan melahirkan peneliti-peneliti dan banyak melahirkan penemuan baru.
Yohanes Surya lahir di Jakarta, 6 November 1963. Ia mulai memperdalam fisika pada jurusan Fisika MIPA Universitas Indonesia hingga tahun 1986. Dia pernah mengajar di SMAK I Penabur Jakarta hingga tahun 1988. Selanjutnya menempuh program master dan doktornya di College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. Program masternya diselesaikan pada tahun 1990 dan program doktornya di tahun 1994 dengan predikat cum laude. Setelah mendapatkan gelar Ph.D., Yohanes Surya menjadi Consultant of Theoretical Physics di TJNAF/CEBAF (Continous Electron Beam Accelerator Facility) Virginia – Amerika Serikat (1994).
Pulang dari Amerika, disamping melatih dan memimpin Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), Yohanes Surya menjadi pengajar dan peneliti pada program pasca sarjana UI untuk bidang fisika nuklir (tahun 1995 –1998). Dari tahun 1993 hingga 2007 siswa-siswa binaannya berhasil mengharumkan nama bangsa dengan menyabet 54 medali emas, 33 medali perak dan 42 medali perunggu dalam berbagai kompetisi Sains/Fisika Internasional. Pada tahun 2006, seorang siswa binaannya meraih predikat Absolute Winner (Juara Dunia) dalam International Physics Olympiad (IphO) XXXVII di Singapura.
Yohanes Surya merupakan penulis produktif untuk bidang Fisika/Matematika. Ada 68 buku sudah ditulis untuk siswa SD sampai SMA. Di luar aktifitasnya di atas, Yohanes Surya berkiprah dalam berbagai organisasi internasional sebagai Board member of the International Physics Olympiad, Vice President of The First step to Nobel Prize sejak 1997. Dia juga penggagas dan President Asian Physics Olympiad sejak 2000.
Yohanes mendapatkan Lencana Satya Wira Karya (2006) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu juga dia terpilih sebagai wakil Indonesia dalam bidang pendidikan untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush.
Di dunia kampus, Yohanes Surya adalah guru besar fisika dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Ia pernah menjadi Dekan Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan. Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Multimedia. Tahun 2010 Yohanes Surya mendirikan STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan) Surya untuk mencetak guru-guru yang berkualitas dari berbagai daerah tertinggal di Indonesia.
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Yohanes. Klik di sini