Realita persoalan dalam pembangunan Jakarta nampaknya masih kurang dipahami oleh masyarakat akibat banyaknya manipulasi informasi melalui berbagai media massa dan jejaring sosial, terlebih di tengah hiruk pikuk Pemilihan Kepala Daerah Jakarta saat ini. Hal tersebut diungkapkan oleh Anggawira selaku Koordinator Sahabat Anies-Sandi.
“Kami memandang Jakarta, sebagai Ibu Kota Negara Indonesia yang merupakan barometer pembangunan nasional. Jadi, ketika persoalan pembangunan di Jakarta tidak dapat diselesaikan pasti akan mempengaruhi pula pembangunan nasional”, ujar Anggawira di Jakarta, Senin, (19/12/2016).
Selama ini, lanjutnya, masih banyak masyarakat yang belum dapat memahami sepenuhnya mengenai pencapaian pembangunan Ibu Kota oleh pemerintah. Anggawira mengaku pihaknya ingin menyadarkan masyarakat bawasannya keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari aspek fisik dan aksesorisnya saja.
“Dari banyak data yang kami himpun, terlihat bahwa persoalan-persoalan utama di Jakarta belum mampu diselesaikan dengan baik, bahkan sebagiannya mengalami kemuduran. Contohnya, dari data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukan jumlah penduduk miskin di Jakarta meningkat sekitar 30 ribu jiwa dalam 4 tahun terakhir. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2016 mencapai 384.300 jiwa dari sebelumnya 355.200 jiwa pada tahun 2012. Jumlah penduduk yang rentan miskin juga relatif tinggi, yaitu lebih dari 1 juta jiwa,” papar ketua BPP HIPMI Bidang Organisasi tersebut.
Hal ini diperkuat pula dengan data-data BPS yang menyebutkan rata-rata Rasio Gini tahun 2012-2016 berkisar di atas 0,4 (rasio 0 sampai 1, di mana angka 1 adalah yang tertinggi).
“Angka ini meningkat cukup drastis dari periode sebelum 2012 yang berada di kisaran 0,3. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya dan miskin memburuk dalam 4 tahun terakhir. Angka tersebut menempatkan DKI Jakarta sebagai salah satu dari 7 provinsi dengan Rasio Gini tertinggi di Indonesia,” imbuhnya.
Bahkan, tren kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator dasar pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan di DKI Jakarta juga relatif rendah, yaitu sekitar 0,54 per tahun – IPM tahun 2012 (77,53) dan 2015 (78,99). Sementara, rata-rata kenaikan IPM di provinsi lain mencapai hingga lebih dari 0,7, contohnya Nusa Tenggara Barat (0,8) dan Nusa Tenggara Timur (0,7).
“Rata-rata kenaikan IPM per tahun di Jakarta ini masih tertinggal dari Jawa Timur (0,72), Jawa Tengah (0,68), Jawa Barat (0,66), dan bahkan Papua (0,56) serta rata-rata kenaikan IPM nasional (0,62). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan yang berarti dalam pembangunan manusia di Jakarta,” ungkap dosen Universitas Islam As-Syafi'iyah tersebut.
Menambah angka kemiskinan
Penggusuran tanpa memberikan ruang dialog di berbagai tempat di Jakarta dalam 2 tahun terakhir ini juga berpotensi menambah angka kemiskinan. Pasalnya, warga yang tergusur terpaksa kehilangan pendapatan sehingga rentan untuk jatuh miskin.
Selain penggusuran, proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta juga berpotensi melahirkan kelompok miskin baru dari kalangan nelayan. “Kebijakan reklamasi oleh Pemprov DKI Jakarta lebih banyak menguntungkan para pemodal besar dan jauh dari prinsip keadilan,” kata Anggawira.
Anggawira juga menyatakan keprihatinan atas pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kebijakan yang masih belum maksimal. “Gubernur DKI Jakarta dibekali anggaran (APBD) hingga hampir Rp70 triliun rupiah per tahun. Kedekatannya dengan Pemerintah Pusat serta status DKI sebagai daerah otonomi khusus memberikan wewenang yang luas kepada Gubernur DKI dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kebijakan. Namun, sayangnya itu semua belum mampu dijalankan secara maskimal untuk kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya.
Atas fakta-fakta tersebut, Anggawira menilai pembangunan yang dilakukan selama lima tahun terakhir tidak memberikan dampak yang signifikan bagi kemajuan Jakarta maupun kesejahteraan masyarakat.
“Warga Jakarta pun pasti melihat dan merasakan hal yang sama. Dimana mereka tidak puas dengan pengelolaan pemerintahan DKI Jakarta yang tidak menjalankan amanat dari masyarakat. Sudah saatnya Jakarta memiliki pemimpin baru yang mampu mengemban amanat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, dan kemanusiaan,” simpulnya.