Suara.com - Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Jan Sihar Aritonang menyebut atribut Natal sepeti pohon cemara, Santa Claus, sampai topi Santa Claus bukan simbol agama. Itu semua bagian dari budaya universal dunia.
Hal itu dikatakan Jan yang juga seorang pendeta, menyikapi aksi ormas keagamaan memaksa pekerja mal tidak menggunakan atribut Natal karena dianggap sebagai simbol agama non-muslim. Ormas itu mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim.
"Topi Santa Claus, dan sosok Santa Claus bukan simbol atau juga atribut agama kami. Buat apa dilarang dipakai orang lain?" kata Jan saat berbincang dengan suara.com di Jakarta, Selasa (21/12/2016).
Penulis buku 'Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia' itu bercerita sosok santa dan 'ritual' perayaan Natal selama ini terbentuk dari budaya. Namun dalam ajaran Kristen, tidak ada simbol Santa Claus.
Baca Juga: Menag Lukman Tak Setuju dengan Aksi "Sweeping" Atribut Natal
"Jadi yang pakai topi Santa, belum tentu Kristen," tegasnya.
Di Jepang, Jan beri contoh, kemeriahan Natal disambut oleh orang-orang non-Kristen. Warga Jepang ikut bergembira dengan momentum Natal dengan menghias sudut kota dengan ornamen Santa Claus sampai banyak permen-permen yang dibagikan.
"Kristen di Jepang tidak sampai 1 persen dari jumlah penduduk. Tapi di sana meriah, warganya sagat toleran. Mereka bukan merayakan Natal, tapi ikut bergembira," jelas dia.
Sebelumnya MUI mengeluarkan tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim.
Berikut pertimbangan MUI mengeluarkan fatwa tersebut:
Baca Juga: Sambut Natal, Messi Pilih Rayakan di Kampung Halaman
a. bahwa di masyarakat terjadi fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka;