Makna Kontekstual Maulid Nabi Muhammad

Selasa, 13 Desember 2016 | 03:04 WIB
Makna Kontekstual Maulid Nabi Muhammad
Siti Musdah Mulia. (dok pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pembacaan cerita-cerita tersebut dimaksudkan untuk membangkitkan semangat pasukan Islam sambil mengingatkan mereka bahwa Nabi SAW adalah seorang jenderal dan ahli perang, dan para sahabatnya adalah tentara-tentara yang tidak pernah mengenal kalah. Melalui peringatan Maulid, maka semangat juang pasukan Islam termotivasi untuk bangkit. Mereka memerangi tentara Salib dengan semangat yang tinggi, dan berhasil mengusirnya dari dunia Islam untuk selamanya.

 Sebagian ulama -dengan mengetahui sejarah lahirnya Maulid seperti di atas- lalu menganggap Maulid sebagai bid’ah. Namun, sebagian yang lain, meskipun bid’ah, tetapi itu bid’ah yang baik, atau dalam istilah fiqihnya, bid’ah hasanah, yaitu suatu kreativitas yang baik. Karena merupakan kreativitas, maka orang berbeda pendapat menilainya. Ada yang menerima, dan ada yang menolak. Bahkan di Saudi Arabia pun yang secara resmi menolak peringatan Maulid, masih banyak orang yang sembunyi-sembunyi merayakannya.

Di Indonesia kegiatan resmi Maulid di istana dimulai oleh Presiden Soekarno atas saran dari Haji Agus Salim, tokoh Islam yang sangat disegani oleh Bung Karno. Bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim, Maulid mempunyai nilai simbolik yang sangat penting. Tradisi warisan Bung Karno itu patut dipertahankan. Oleh karena itu, tugas umat Islam sekarang adalah membersihkannya dari unsur-unsur yang tidak bisa dibenarkan oleh agama seperti pemujaan atau kultus yang berlebihan kepada Nabi SAW.

Kalau awalnya dalam Maulid dibacakan cerita-cerita heroik seperti perjuangan Nabi dalam berbagai peperangan, kini diubah dengan pembacaan syair-syair Dibbaân, dan Barzanji, sebuah ekspresi seni dengan nilai estetika yang sangat tinggi. Isinya menjelaskan sifat-sifat keutamaan Nabi dan kemuliaan beliau. Intinya adalah membacakan shalawat, doa dan pujian kepada junjungan Nabi SAW sebagai ungkapan rasa cinta mendalam kepadanya.

Hal ini sama halnya ketika seorang anak yang baru lahir dibacakan Barzanji, yang juga menjadi semacam doa kepada Allah melalui pernyataan kecintaan kepada Nabi. Ide shalawat sebenarnya ialah mendoakan Nabi. Ustad-ustad di pesantren biasanya menerangkan bahwa Nabi itu diibaratkan sebuah gelas yang sudah penuh. Dengan membaca shalawat berarti kita mengisi lagi gelas yang sudah penuh itu, sehingga airnya meluber dan tumpah. Tumpahannya itulah yang dianggap sebagai berkah atau syafaat Nabi.

Kalau dulu Salahuddin Al-Ayyubi memperingati Maulid untuk membangkitkan semangat pasukan Islam menghadapi tentara Salib, kini perayaan serupa tetap perlu dilakukan. Namun, spiritnya bukan lagi membangkitkan semangat perang melawan tentara Salib, melainkan semangat perang melawan musuh-musuh Islam dalam wujud imperialisme, kapitalisme, hedonisme dan konsumerisme.

Selain itu, peringatan Maulid seharusnya diarahkan untuk mengenang perjuangan Nabi  memberantas kemiskinan dan kemelaratan, membela kelompok rentan dan tertindas (mustadh’afin). Mereka adalah orang-orang miskin, para perempuan yang teraniaya, anak-anak yang terlantar dan para buruh yang dieksploitasi dan sebagainya. Maulid seharusnya memberikan inspirasi bagi umat Islam untuk bangkit melawan semua bentuk perbudakan dan penjajahan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam bentuk aksi-aksi intoleransi yang akhir-akhir ini semakin menguat di kalangan umat Islam.

Maulid Nabi juga dapat menjadi medium untuk mengembangkan rasa kebangsaan dan nasionalisme. Secara politis nasionalisme merupakan manifestasi kesadaran nasional yang mengandung cita-cita luhur dan mulia bagi suatu bangsa untuk merebut kemerdekaan atau mengenyahkan penjajahan. Selain itu, sebagai pendorong suatu bangsa untuk membangun dirinya maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. Kita sebagai warga negara Indonesia sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa dan negara Indonesia.

Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap bangsa dan negara tidak berarti kita merasa lebih hebat dan lebih unggul dari bangsa dan negara lain sehingga timbul sikap memandang hina bangsa lain. Kita tidak boleh memiliki semangat nasionalisme yang berlebihan (chauvinism) tetapi harus menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lainnya. Jadi, dibedakan dua macam nasionalisme: Pertama, nasionalisme dalam arti sempit, yakni suatu sikap yang meninggikan bangsa sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa lain. Keadaan seperti ini sering disebut chauvinism. Kedua, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.

Akhirnya, selamat merayakan Maulid Nabi SAW, semoga semua doa terbaik tercurah untuk beliau, junjungan umat Islam. Semoga pula kita umatnya semakin sadar meneladani semua sifat utama  dari diri beliau, terutama sifat-sifat kemanusiaan universal yang sangat mengemuka dalam dirinya. Sifat dimaksud seperti adil, jujur, lembut, tegas, bersih, sangat penyayang pada sesama manusia, peduli lingkungan dan amat mencintai perdamaian.  Sekali lagi, shalawat dan salam untuk Nabi tercinta.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI