Suara.com - Belum lewat sebulan sejak terjadinya peristiwa bom di Gereja Oikoumene, Samarinda, peristiwa intoleransi kembali terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Kali ini aksi intoleran dilakukan sekelompok orang yang menamakan diri Pembela Ahlus Sunnah dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dengan cara menghentikan kebaktian menjelang Natal di Sabuga ITB, Bandung, Selasa (6/12/2016) sore.
"Apapun bentuk dan alasannya, pelanggaran terhadap hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir," ujar Ketua Umum PP Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Sahat Martin Philip Sinurat, hari ini.
Menurut Sahat situasi yang terjadi telah meresahkan masyarakat, tidak hanya di Kota Bandung, namun berbagai daerah lainnya di Indonesia.
Melihat situasi tersebut, hari ini, organisasi-organisasi yang tergabung dalam Kelompok Cipayung Plus menyatakan sikap.
Pertama, menyesalkan terjadinya peristiwa pelarangan ibadah, dimana pemerintah dinilai takluk kepada tekanan massa intoleran.
Kedua, mendesak pemerintah segera mencopot kapolda, kapolres, kapolsek karena dianggap tidak mampu menjaga dan menjamin hak warga negara.
Ketiga, meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian segera menangkap dan memproses para pelaku intoleran.
Keempat, menilai intelijen bobol mencegah konflik di daerah telah terjadi berulangkali sehingga pemerintah harus mengevaluasi segi integritas personil maupun komandonya agar mampu menelisik lebih dalam guna mencegah tindakan radikal dan intoleran semakin meluas.
Kelima, meminta pemerintah segera membubarkan dan melarang organisasi intoleran yang tidak bernafaskan Pancasila.
Keenam, menyerukan kepada semua anggota Kelompok Cipayung Plus yang tersebar di seluruh Tanah Air agar bersama-sama menjaga keamanan dan ketenteraman Republik Indonesia.