Beda Makar, Pemakzulan dan Kebebasan Berpendapat Versi Ahli Hukum

Rabu, 07 Desember 2016 | 19:49 WIB
Beda Makar, Pemakzulan dan Kebebasan Berpendapat Versi Ahli Hukum
Jokowi di atas panggung Aksi Bela Islam III. (Youtube/Suara.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berpendapat,  pasal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan sebuah tuduhan yang luar biasa. Namun ada perbedaan antara pengertian makar dan pengertian kebebasan berpendapat. 
 
Pendapat disampaikan Refly menyusul penangkapan 11 tokoh sebelum aksi damai pada Jumat 2 Desember 2016, atas dugaan makar. 
 
"Yang membedakan makar dan kebebasan berpendapat itu,  pada desainnya apakah Itu dilakukan hanya untuk lontaran pendapat atau desain untuk memberhentikan presiden," kata Refly di Gedung Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta Pusat,  Rabu (7/12/2016). 
 
Meski ada wacana untuk memberhentikan presiden, kata Refly tidak bisa disebut dengan upaya makar, namun harus dilihat secara konstitusional. 
 
"Tapi kalau ada desain untuk memberhentikan presiden belum tentu makar juga,  dilihat juga apakah desain itu dilihat secara konstitusional.   Misalnya mengumpulkan kesalahan presiden,  lalu disampaikan ke DPR  atau ataukah desain yang tidak konstitusional dengan menggunakan kekuatan masa atau kekuatan senjata," ucapnya.
 
Terkait penangkapan sejumlah tokoh atas dugaan makar ,  kata Refly yang memang salah satu dugaan upaya makar.  "Nah ini kan dugaannya ingin menggunakan kekuatan masa 212 duduki MPR /DPR, itu kan sudah bagian dari (dugaan upaya) makar kalau sudah menggunakan kekuatan massa atau kekuatan senjata, "kata dia. 
 
Meski begitu, Refly menyerahkan aparat penegak hukum, untuk membuktikan adanya upaya untuk menggulingkan pemerintah Presiden Jokowi dengan cara yang tidak sah. Pasalnya dirinya tak bisa mengatakan bahwa sejumlah tokoh tersebut memiliki niatan atau pembicaraan yang serius untuk menggulingkan pemerintahan Jokowi. 
 
Oleh karena itu jika ingin melakukan pemakzulan kepada pemerintahan Joko Widodo harus jelas terkait dugaan pelanggarannya. 
 
Selain itu dugaan pelanggaran  tersebut harus melalui prosedur seperti melalui DPR yang nantinya disampaikan ke MK dan diputuskan melalui sidang dan diserahkan ke DPR untuk di paripurnakan dan dilanjutkan ke sidang Istimewa MPR yang akan menentukan apakah Presiden dapat dicabut mandatnya apa tidak 
 
"Menggulingkan pemerintah beda, menggulingkan pemerintah atau mengadukan presiden Jokowi ke DPR beda. Menggulingkan pemerintah yaitu pemerintah ingin digulingkan. Tapi kalau mengadukan kesalahan Jokowi agar dikoreksi DPR,  lalu diiampeach (pemakzulan) nggk ada masalah, kita pun sebagai warga negara boleh saja kita anggap Jokowi bersalah. Ini tolong luncurkan  hak menyatakan pendapat tapi nggak boleh dengan kekerasan, kalau dengan pemaksaan itu lain masalahnya, "kata dia. 
 
Sebelumnya, dari 11 tokoh, delapan di antaranya telah ditetapkan menjadi tersangka dugaan upaya makar, yakni mantan anggota staf ahli Panglima TNI Brigadir Jenderal (purn) Adityawarman Thaha, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (purn) Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Bidang Ideologi Rachmawati Soekarnoputri, aktivis Ratna Sarumpaet, Ketua Bidang Pengkajian Ideologi Partai Gerindra Eko Suryo Santjojo, aktivis Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein, dan tokoh buruh Alvin Indra Al Fariz.
 
Dua tersangka yang lain, Ketua Komando Barisan Rakyat Rizal Izal dan Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta Utara Jamran, disangka melakukan penyebaran ujaran kebencian. Musisi yang juga calon wakil Bupati Bekasi Ahmad Dhani kena sangkaan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo. Dari 11 tokoh, hanya Sri Bintang Pamungkas, Rizal, dan Jamran yang ditahan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI