Suara.com - Polda Metro Jaya sudah siap menghadapi gugatan praperadilan yang diajukan Buni Yani -- tersangka kasus penghasutan berbau SARA lewat media sosial.
"Kami siap. Kan Polda punya bidang hukum," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, Selasa (6/12/2016).
Saat ini, polisi belum menerima surat dari pengadilan mengenai gugatan tersebut.
"Nanti kita tunggu surat dari pengadilan negeri tuntutannya apa, apa masalahnya," kata Argo.
Buni Yani dan tim kuasa hukum mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (5/12/2016). Buni Yani ingin menguji apakah proses penetapan status tersangka sudah sesuai aturan main atau belum.
"Betul, hari ini sudah mendaftar," kata pengacara Buni Yani, Aldwin Rahardian, kepada Suara.com
Aldwin kemudian menjelaskan alasan kliennya menggugat penetapan status tersangka tersebut.
"Pertama, kami daftarkan permohonan praperadilan karena sejak awal, prosesnya un procedure dan parsial. Kami anggap ini melanggar, menabrak hukum acara, KUHP, dan aturan lain seperti peraturan Kapolri," kata Aldwin.
Dengan demikian, kata dia, proses penetapan Buni Yani menjadi tersangka harus diuji kembali di pengadilan. Diuji apakah penetapan status tersangka tersebut sudah sesuai aturan atau belum.
"Karena menurut kami prosesnya tidak un procedure dan parsial," kata Aldwin.
Aldwin optimistis hakim Pengadilan negeri akan mengabulkan permohonan kliennya.
"Kami optimis, insya Allah hakim akan kabulkan permohonan untuk mencabut status tersangka Pak Buni," katanya.
Permohonan praperadilan sudah diregister dengan nomor 157. Sekarang, tinggal menunggu jadwal persidangan.
Buni Yani dijadikan tersangka terkait tindakannya mengunggah potongan video berisi pidato GubernurJakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat mengutip Al Maidah ke Facebook.
Atas tindakan tersebut, dia dijerat Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 tentang ITE dan Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara atau denda paling banyak Rp1 miliar.