Suara.com - Di hadapan Komisi III DPR, hari ini, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan usaha Polri untuk menjaga Ibu Kota Jakarta segala kemungkinan terkait aksi 2 Desember. Seperti diketahui, penyelenggara aksi tersebut semula ngotot untuk aksi di sepanjang Jalan Sudirman hingga Jalan M. H. Thamrin. Tetapi setelah dilakukan negosiasi, penyelenggara acara luluh dan mau memindahkan tempat aksi di dalam lapangan Monumen Nasional.
"Kami lakukan langkah yang cukup keras. Pertama, kami melarang kegiatan tersebut dan kita mengancam untuk membubarkan sesuai UU. Tapi logikanya kalau sudah berkumpul ribuan orang, membubarkannya akan sangat sulit. Bisa konflik, bentrok, emosi masa akan muncul dan akhirnya timbul korban," kata Tito.
Apalagi, menjelang 2 Desember, Tito mencium adanya gerakan dari kelompok tertentu yang ingin memanfaatkan aksi damai dengan agenda politik yang lain.
"Saya sempat tanya, 'kegiatan 2 Desember ini dalam rangka tuntutan hukum atau ikut dalam upaya menduduki DPR dan agenda politik lain?'. Mereka bilang tidak. 'oke kalau begitu, jangan gunakan Jalan Sudirman-Thamrin'," kata Tito.
Tito mengatakan bila aksi hari itu benar-benar digelar di Jalan Sudirman sampai Thamrin, barisan massa akan sampai kawasan Semanggi, Senayan, bahkan di depan gedung DPR dan MPR.
"Kalau begitu, ada trigger sedikit saja akan meledak sekali," tutur Tito.
Itu sebabnya, ketika itu Tito melarang aksi dilakukan di jalanan karena sudah pasti akan mengganggu ketertiban umum.
Penyelenggara aksi kemudian menanyakan kepada Tito mengenai lokasi mana yang tepat. Sebab, jika dilakukan di Masjid Istiqlal, tentu tidak akan bisa menampung massa yang datang dari berbagai daerah. Belum lagi, kalau dipaksakan di Istiqlal, peristiwa 4 November akan terulang, yaitu banyak orang yang terinjak-injak karena saking banyaknya jamaah.
"Jadi lebih baik di tempat yang terbuka, mereka sarankan. Dan akhirnya kita sepakati, tempatnya di Monas," kata dia.
Sampai akhirnya Tito menawarkan aksi di lapangan Monas. Selain tempatnya lega, juga lebih mudah diawasi untuk mencegah adanya kelompok politik yang ingin mengarahkan massa ke gedung DPR.
"Sehingga kita akomodir dan menekankan agenda ini adalah hanya untuk ibadah. Yaitu ibadah yang murni bukan seperti 4 November. Kalau 4 November, Salat Jumatnya digunakan untuk kumpul, selesai Salat baru bergerak orasi. Nah di sini kami minta settingnya murni ibadah," kata dia.
Aksi yang dikenal dengan istilah 212 itu akhirnya disepakati dilaksanakan di Monas dan diisi dengan dzikir, tausiyah, doa bersama, dan salat Jumat berjamaah. Tito pun mempersilakan pimpinan aksi melakukan orasi.
"Antara tausiyah dan orasi itu beda-beda tipis. Tapi ya sudahlah kita kasih. Supaya, kan sudah jauh-jauh masa nggak keluarkan isi hatinya," ujarnya.
Polri, TNI, dan pemerintah derah Tito kemudian menyiapkan semua sarana dan prasarana aksi.
"Magnet utama dari pengendalian massa itu adalah speaker, kami yang siapkan speaker sehingga tidak terlalu banyak yang orasi menggunakan mobil, dan itu berbahaya sekali. Jadi cukup satu saja suara. Kedua, magnetnya adalah panggung. Ini adalah komando untuk semua itu. Nah, oleh karena itu kami hadir di sana. Bukan ingin populer, tapi ingin mengendalikan mereka yang sudah berkomitmen dengan kami. Sehingga semua sesuai dengan rencana," kata dia.
Acara pun berjalan lancar, meski separuh Jakarta pusat ketika itu macet.
"Sebetulnya saya berikan mereka kesempatan sampai jam 16.00. Biar kami punya spare waktu dua jam, karena yang rawan malam. Tapi hebatnya teman-teman aksi bilang, 'tidak pak kami tidak mau terlalu malam seperti peristiwa kemarin. Itu menodai agama Islam. kami ingin betul-betul menyampaikan aspirasi," ujarnya.
"Nah, lebih bagus, saya bilang begitu. Sehingga mereka tidak sampai jam 16.00. cukup sampai jam 13.00. Sehingga kita punya waktu 5 jam untuk mencairkan. Dan saya rasa kegiatannya konsisten dengan massanya tumpahnya bukan main. Meskipun Jalan Thamrin ketutup juga. Tapi judulnya adalah intinya kegiatan di Monas. Jadi semua berjalan lancar. Alhamdulillah," kata Tito.