Suara.com - Hari ini, Perkumpulan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia menggelar acara talk show bertajuk “Memahami Keputusan Mahkamah Konstitusi RI terkait Pemaknaan Pasal 29 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perjanjian Perkawinan” di Swis Belhotel, Jakarta.
Acara diskusi yang dihadiri sekitar 150 anggota Perca Indonesia dan pelaku perkawinan campuran serta para notaris ini mengangkat pembahasan tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan uji materi yang diajukan pada Juni 2015 oleh Ike Farida, yang sepenuhnya didukung oleh Perca Indonesia.
Mahkamah Konstitusi pada 27 Oktober 2016 membacakan putusan permohonan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang salah satunya adalah Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut” bertentangan dengan UUD 1945.
Lahirnya putusan tersebut mengubah ketentuan tentang Perjanjian Perkawinan dalam UU Perkawinan.
“Ini merupakan sejarah baru bagi semua pasangan suami isteri, yang mana sejak keluarnya putusan tersebut langsung bisa membuat Perjanjian Perkawinan kapan saja, selama perkawinan berlangsung,” demikian kata Ketua Perca Indonesia Juliani Luthan.
"Secara khusus, WNI pelaku perkawinan campuran tentunya sangat menyambut baik putusan ini. Akhirnya kami mendapat jalan keluar atas kendala yang kami alami selama ini, dimana WNI pelaku perkawinan campuran selalu terbentur masalah saat akan membeli tanah atau bangunan dengan status Hak Milik atau Hak Guna Bangunan karena tidak memiliki Perjanjian Perkawinan,” Juliani menambahkan.
Bagi Ike Farida, dikabulkannya permohonan uji materi yang diajukannya memberikan jaminan kesetaraan hak dan kepastian hukum bagi WNI pelaku perkawinan campuran seperti dirinya saat akan membeli tanah atau bangunan dengan status Hak Milik atau HGB.
“Saya mengajukan permohonan uji materi ini karena pembelian apartemen saya dibatalkan secara sepihak oleh salah satu developer dengan alasan WNI perkawinan campuran tidak punya hak memiliki Hak Milik atau HGB jika ia tidak memiliki Perjanjian Perkawinan yang harus dibuat sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan,” kata Ike Farida.
Dengan diterbitkannya putusan MK, maka dengan sendirinya beberapa ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan sekarang secara signifikan berubah yaitu antara lain: Perjanjian Perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat dan selama perkawinan berlangsung; Perjanjian Perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan atau diberlakukan sesuai kesepakatan suami isteri; Perjanjian Perkawinan dapat dicabut atau diubah sebagian atau seluruhnya sepanjang disepakati oleh kedua belah pihak. Patut dicatat bahwa Perjanjian Perkawinan isinya tidak boleh merugikan pihak ketiga
Juliani Luthan mengatakan, “Putusan MK RI ini merupakan buah manis perjuangan panjang Perca Indonesia yang sejak berdiri ditahun 2008 telah mengangkat permasalahan diskriminasi terhadap WNI pelaku perkawinan campuran terkait status kepemilikan tanah dan bangunan bersertifikat SHM dan HGB. Kami telah melakukan berbagai upaya advokasi, kajian, sosialisasi, bedah kasus, maupun upaya hukum melalui Penetapan Pengadilan, sampai akhirnya tahun lalu kami sepenuhnya mendukung anggota kami, Ike Farida, untuk maju ke MK RI.”
“Kami memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada majelis hakim MK RI yang telah mendengar permohonan kami sehingga melahirkan putusan yang adil dan memberikan kepastian hukum bagi WNI pelaku perkawinan campuran yang selama ini terdiskriminasi. Langkah penting dan agenda utama kami selanjutnya adalah mengawal eksekusi putusan ini agar dapat segera diterapkan sebagaimana mestinya,” Juliani Luthan menambahkan.