Suara.com - Ketentuan dalam Pasal 9 huruf a Undang Undang Pilkada dinilai pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, berpotensi mengancam kemandirian Komisi Pemilihan Umum sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
"Konteks dalam ketentuan ini jika dibaca secara hukum berpotensi mengganggu penyelenggaraan pelaksanaan kewenangan KPU," ujar Zainal, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (28/11/2016).
Zainal memberikan pernyataan tersebut ketika memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan oleh KPU selaku Pemohon dalam sidang uji materi UU Pilkada di MK.
Adapun Pasal 9 huruf a berisi tentang kewajiban KPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam membuat peraturan KPU.
Baca Juga: Hadiri HUT Ke-88, Agus Berikan Resep Bangkitkan Prestasi Persija
"Ketentuan tersebut telah memberikan kewajiban sangat kuat dan imperatif bahwa peraturan KPU dan aturan teknis lainnya hanya dapat dibuat jika telah melalui forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat," ujar Zainal.
Selanjutnya Zainal mengatakan, aturan yang mewajibkan KPU untuk berkonsultasi telah menempatkan KPU sebagai pihak yang hanya dapat menyusun dan menetapkan peraturan KPU setelah melakukan konsultasi.
Artinya, jika pihak yang akan dikonsultasikan yaitu DPR menolak adanya konsultasi, maka pada dasarnya ketentuan teknis dan peraturan KPU tidak dapat dikeluarkan.
"Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penyusunan dan penetapan peraturan yang secara teoritik menjadi milik KPU secara self regulatory body telah beralih ke forum dengar pendapat," ujar Zainal.
Zainal menambahkan, bila keputusan dalam forum dengar pendapat tersebut bersifat mengikat, maka apa pun yang diminta DPR di dalam forum menjadi sangat imperatif dan wajib dilaksanakan.
Baca Juga: Juventus Pastikan Eks Bek Barcelona Ini Mengalami Patah Kaki
"Jika kemudian DPR memaksakan kehendaknya terhadap KPU, maka KPU sama sekali tidak dapat menolak karena forum dengar pendapat telah menjadi mutlak karena bersifat mengikat," ujarnya lagi.