Rentan Kekerasan Perempuan, Pemerintah Diminta Buat Regulasi

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 28 November 2016 | 07:13 WIB
Rentan Kekerasan Perempuan, Pemerintah Diminta Buat Regulasi
Diskusi publik 'Kekerasan dan Perempuan' di Graha Pancasila Balai Among Tani Batu, Malang, Jawa Timur. [Dok UMM]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Ketua Korps HMI-wati Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (Kohati FISIP UMM), Hanan Nazah Anili mengatakan, setiap perempuan dari segala umur rentan menjadi korban kekerasan seksual. Tak hanya perempuan mulai umur balita, nenek berumur 75 tahun, bahkan anak laki-laki jalanan kerap menjadi incaran pelaku kejahatan seksual. Sementara, pelakunya juga harus diwaspadai bahkan di tempat yang seharusnya paling aman bagi anak-anak. 

"Peraturan yang ada tidak dapat menjangkau secara spesifik tentang delik-delik yang berkaitan dengan kekerasan seksual, serta belum menyediakan skema pemulihan bagi korban kekerasan seksual," kata Hanan pada diskusi publik 'Kekerasan dan Perempuan' di Graha Pancasila Balai Among Tani Batu, akhir pekan lalu sebagaimana keterangan tertulis di Malang, Jawa Timur, Senin (28/11/2016).

Menurut Hanan, penegakan hukum dengan hukum acara yang ada seringkali menimbulkan reviktimisasi, kriminalisasi maupun impunitas pelaku, karena persoalan pembuktian dan paradigma penegak hukum yang belum berperspektif korban.

Aktivis organisasi perempuan Dewanti Rumpoko, mengatakan realitas kejahatan seksual secara kuantitas mengalami kenaikan dan tidak dapat ditolerir. Merujuk temuan Komnas Perempuan bahwa terdapat 35 perempuan setiap hari mengalami kekerasan seksual. Karena itu, diperlukan penanganan dan pemulihan yang komprehensif melalui payung hukum yang khusus.

"Kekerasan seksual berdampak secara fisik, psikis, seksual hingga ekonomi pada korban, sehingga dibutuhkan pemulihan dalam makna luas bagi korban dan keluarganya," kata Dewanti pada studium general diskusi publik itu.

Menurut Dewanti, dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang khusus dan telah melalui penelitian, pengalaman, pelaporan yang telah banyak dilakukan, baik lembaga pendamping dari masyarakat maupun dari (lembaga) negara, dan kesulitan aparat hukum.

“Sekali lagi, Negara harus hadir melalui payung hukum yang komprehensif untuk melindungi perempuan dari kekerasan yang makin massif di masyarakat dengan melihat situasi yang sangat tidak dapat ditolerir,” pungkasnya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI