Suara.com - Tekanan kekerasan di dalam negeri Myanmar yang berkelanjutan dinilai sebagai tanda krisis politik dan keamanan dalam negeri. Selain itu juga kemanusiaan yang menuntut keterlibatan banyak pihak.
Hal itu dinyatakan Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos dalam pernyataannya, Sabtu (26/11/2016) pagi.
“Indikasi genosida atas etnis Rohingnya telah berlangsung sejak lama tetapi dunia internasional tidak berbuat cukup untuk mengatasi krisis kemanusiaan tersebut,” kata Bonar.
Sekitar 30.000 warga Rohingya telah meninggalkan rumah-rumah mereka di Myanmar setelah pasukan militer pemerintah menyerang pemukiman mereka pada awal bulan ini.
Sebelumnya, John McKissick, pimpinan lembaga pengungsi PBB, UNHCR, yang bertugas di Cox's Bazar, sebuah kota Banglades yang berbatasan dengan Myanmar, bersaksi bahwa tentara Myanmar "membunuh dan menembaki para lelaki dewasa, membantai anak-anak, memperkosa perempuan, membakar dan menjarah rumah-rumah, dan memaksa orang-orang dari etnis Rohingya untuk menyeberangi sungai" pergi ke Banglades.
Banglades sendiri belum mau menuruti permintaan dunia internasional untuk membuka perbatasannya bagi para pengungsi Rohingya. Pemerintah di ibu kota Dhaka memilih untuk mendesak Myanmar menghentikan aksi biadab terhadap warga Rohingya.
Menurut Tigor, sebagai sesama anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Pemerintah Indonesia tidak cukup hanya bertindak pasif menyaksikan praktik kekerasan di Myanmar yang juga merupakan salah satu anggota ASEAN. SETARA.
“Pemerintah Indonesia memanggil secara resmi Duta Besar Myanmar di Indonesia untuk menyampaikan secara tegas keprihatinan Indonesia,” kata dia.
Selain itu, Pemerintah Indonesia harus mengambil inisiatif tegas dan terukur untuk mengajak pemerintah negara-negara ASEAN lainnya membentuk Tim Perdamaian dan Penghentian Kekerasan di Rakhine. Alasan penghormatan pada kedaulatan negara dan politik bebas aktif Indonesia sudah semestinya diabaikan, karena krisis kemanusiaan sesungguhnya menghadirkan kewajiban keterlibatan negara melampaui batas-batas kedaulatan negara.
“Pemerintah Indonesia perlu menyajikan informasi yang proporsional tentang kekerasan yang terjadi di Rakhine untuk menghindari berbagai ekploitasi informasi kekerasan untuk tujuan-tujuan lain yang melawan kemanusiaan,” lanjutnya.