Suara.com - Serikat Pekerja BUMN dan 22 organisasi menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 terkait operator telekomunikasi. Rencana tersebut dinilai hanya menguntungkan pihak tertentu dan merugikan bangsa ini.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu F. X. Arief Poyuono meminta Menteri Komunikasi dan Informatika untuk bersedia menerima perwakilan federasi agar dapat menyampaikan sikap.
Pernyataan sikap Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu yaitu:
"Pertama, perubahan dua PP tersebut memang akan menarik asing untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia agar bisa merampok kue ekonomi Indonesia, dengan modal kecil untung besar dengan mempengaruhi pengambil kebijakan untuk membuat dan mengubah regulasi yang menguntungkan asing dan mematikan usaha korporasi nasional," kata Arief melalui pesan tertulis, Senin (21/11/2016).
Perubahan dua PP dinilai hanya menguntungkan pihak asing yang tidak mau mengucurkan modal untuk membangun jaringan telekomunikasi secara menyeluruh di Indonesia. Sehingga revisi dua PP tersebut akan mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas yang seharusnya dikuasai oleh Negara dan dilindungi dari penguasaan asing.
"Perubahan dua PP tersebut membuat operator telekomunikasi saling tunggu dalam membangun jaringan telekomunikasi khususnya di wilayah non-profit. Hal ini menyebabkan kesenjangan informasi, ekonomi, dan sosial, sehingga melahirkan gerakan separatis atau sekurang-kurangnya meningkatkan kriminalitas di wilayah tersebut," katanya.
Akibat lain dari perubahan tersebut adalah membuat operator telekomunikasi menjadi semakin malas membangun, sehingga mengakibatkan pembangunan jaringan telekomunikasi tidak menyeluruh dan tidak merata hingga ke pelosok negeri. Dari sisi bisnis, persaingan usaha tidak sehat, dimana terdapat perjanjian antar operator telekomunikasi terkait pengaturan produksi, harga, maupun penguasaan pasar pasti meningkat.
"Perubahan dua PP tersebut merugikan BUMN sektor telekomunikasi yang telah mengeluarkan investasi besar untuk membangun jaringan telekomunikasi dengan nilai kerugian dalam lima tahun mencapai Rp200 triliun. Dengan kerugian BUMN, maka kerugian Negara akibat Perubahan dua PP tersebut mencapai Rp100 triliun dalam lima tahun," kata Arief.
Selain merugikan BUMN dan Negara, perubahan dua PP tersebut juga merugikan masyarakat khususnya di wilayah non profit, karena tidak terpenuhinya hak masyarakat terhadap akses telekomunikasi. Sementara, ketentuan dalam perubahan dua PP tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, sehingga jika dipaksakan akan batal demi hukum melalui judicial review.
Dia mengapresiasi perjuangan Kementerian BUMN untuk menolak perubahan dua PP.